5. 3rd Speed Dial

30.9K 2K 46
                                    

Matahari berwarna kuning keemasan dan masih setengah tombak saat aku merapikan pakaian kerjaku. Meletakkan name tagku di jas almamater kampus dan tersenyum saat aku yakin bahwa aku sudah siap bertugas—di hari pertamaku. Kurogoh sakuku, mengambil ponsel dan mengetik pesan.

            “Hari pertama. Fighting^^ [!!]”

            Kukirim pesanku di nomer Mufti. Kemarin saat ia mau pulang dari mess, aku meminta nomernya dengan alasan jika butuh bantuan. Dan ternyata, ia memberikannya. Ah, betapa senangnya aku. Ponselku bergetar. Sebuah pesan balasan masuk.

            “Allah ma’ana. Berdoalah!”

            Aku tersenyum. Kupandangi isi pesannya lalu menghembuskan napas dengan ringan. Aku memencet tombol merah ponsel agar keluar ke tampilan layar lalu mengantongi ponselku.

            Hanya butuh lima menit agar sampai di klinik, aku mengucapkan salam dan tersenyum pada receptionist yang sudah hadir.

            “Dokter koass, maaf mbak…”

Kulihat name tag receptionist.

            “Ada apa, Bu Sandi?”

            “Silakan isi daftar hadir,” ia tersenyum hangat dan aku segera mengambil map daftar hadir khusus untukku. Sandi berdehem.

            “Mbak Killa terlihat bahagia sekali….”

            “Tentu.” Aku memandang di bagian kanan bangsal, seorang ibu memegangi perutnya—terlihat kesakitan. “Siapa?”

            “Dia menunggu bidan Maryam. Wanita itu mengeluhkan sakit di sekitar pinggangnya. Oh ya, Mbak, daripada menunggu bidan Maryam, bagaimana jika Mbak Killa tangani dulu. Saya kasihan melihatnya kesakitan.”

            Aku mengangguk. “Aku ke ruang rawat di sana, suruh dia masuk ya?”

            “Tapi, Mbak, Dokter Wali sudah menyiapkan sebuah ruangan untuk anda,”

            Aku memincing. Sandi malah tersenyum, jari lentiknya menunjuk sebuah ruangan yang tak jauh dari mejanya. “Itu,”

            Kupastikan pandanganku, aku melangkah pelan. “Ini?”

            Sandi mengangguk, ia menyuruhku masuk. Aku pun mengungkit gagang pintu lalu menyelipkan tubuh di ruangan yang disediakan Wali. Aku tersenyum.

            Kuletakkan tasku di meja, mengamati isi ruangan dan tersenyum saat melihat sebuah bunga mawar yang diletakkan di sudut ruangan. Hah, lelaki itu belum lupa tentang kesukaanku.

            “Bunga mawar plastik? Aish….” Gumamku tak percaya begitu melihat bunga itu dengan seksama. Astaga, Wali selalu begitu. Dulu saat ia masuk ke kamarku—yang kutinggali dengan Erma, dia menceramahiku habis-habisan saat aku meletakkan pot bunga mawar di dalam kamar, dengan alasan, daun berespirasi menggunakan oksigen saat malam, dan itu berbahaya untuk kesehatanku. Oh, jangan panggil Killa jika aku tak membantahnya, aku berdalih mawar itu hanya satu, tak akan mungkin mengambil oksigen banyak-banyak. Bodoh. Dulu aku begitu keras kepala hingga Wali tak bisa membedakan sikapku yang tak mau melunak atau kebodohanku. Semua sikapku terlihat absurd di matanya.

            “Permisi,”

            Aku terhenyak, “Ya?”

            Sandi membuka pintu, di belakangnya ada ibu yang kuduga pasien bidan Maryam. Setelah berbasa-basi, Sandi keluar dan meningalkanku dengan Rina, nama wanita itu.

Serenade JinggaWhere stories live. Discover now