Seungcheol menegakkan tubuhnya dan menghirup nafas panjang. Berusaha menormalkan detak jantungnya yang semakin berdebar. Sedikit lagi, dan ia akan kembali hidup. Tiba-tiba, sebuah pikiran melewati otaknya—

—apa dirinya lebih baik menetap disini dan tak kembali ke Korea? Ada Jeonghan disini, dan Seoul sudah menjadi neraka baginya.

Seungcheol menyingkirkan pikiran itu sejenak, lalu menekan bell.

Tidak ada sahutan.

Lalu menekan lagi.

Masih tidak ada.

Lalu menekan lagi.

Masih tak ada sahutan.

Sekarang Seungcheol mulai khawatir.

Ia kembali menekan yang kesekian kalinya, dan dirinya mendesah lega ketika suara interkom bergemerisik.

"Wer ist das?"

.

Kebingungan seolah menguasai Seungcheol. Ia memandang jengah sosok yang dengan santainya menuang kopi ke dalam 2 cangkir. Raut wajahnya begitu santai, tak terkejut dengan kedatangan tiba-tiba Seungcheol.

"Jelaskan padaku apa maksud dari dirimu tinggal sendiri?"

Sebuah cangkir tiba di hadapan Seungcheol, beriak kecil seolah mengejek pemuda itu.

"Aku tidak tahu alasannya memberi alamatku padamu, yang jelas aku juga tidak tahu dimana ia tinggal sekarang."

"Jangan bercanda, Lee Seokmin!"

Bentakan Seungcheol menggema di apartemen studio itu. Beruntung apartemen Seokmin bukan apartemen murah, kedap adalah salah satu fitur andalannya. "Aku tidak bercanda. Mungkin kau lupa jika bisa saja kau lah yang menyebabkan Jeonghan pergi? Perlu ku ingatkan kah tentang pernikahan bodoh mu dengan si cacat itu?" Balas Seokmin. "Apa kau tidak bisa melacaknya melalui daftar cabang rumah sakit mu? Ku pikir kau jenius, Choi." Sindirnya.

Gila. Seungcheol yakin jika teman dekat satu-satunya ini telah gila, dan Seungcheol juga yakin jika Yoon Jeonghan adalah penyebabnya. Semua orang tahu seberapa besar cintanya untuk Jeonghan, tapi menghina Hong Jisoo— Seungcheol tetap tak bisa mentolerir. Hatinya terlalu lembut untuk mengatakan hal sekeji itu pada istrinya.

"Aku akan mencarinya."

Seokmin terkekeh. "Ya, ya, ya. Aku yakin kau akan, kau adalah Choi Seungcheol."

Seungcheol tau itu memang bukan pujian. Ia mengusap wajahnya kasar, benar-benar marah dengan segala hal yang terjadi. "Lalu, kenapa— kau tak memberitahuku jika menerima promosi seperti Jeonghan?" Bisiknya tajam. Mengalihkan pandangan pada replika meja Resolute di salah satu sisi ruangan.

Nah, Seokmin membisu. Ia ikut enggan memandang Seungcheol yang terlihat gusar di hadapannya.

.

Yoojung mengerutkan alisnya heran. Di depan galeri, Jisoo berjalan bolak-balik dengan ponsel di genggaman tangannya. Ia meringis sambil terus-terusan mencubiti bawah bibirnya.

"Pakai mantelmu, oppa." Perintah Yoojung sembari menyampirkan sebuah mantel cokelat pada kedua bahu pemuda yang lebih tinggi darinya itu.

RECORDS -Cheolsoo-Where stories live. Discover now