Part 32 : Geulis

18.1K 1.3K 86
                                    

Aku pernah berkunjung ke suatu desa.

Tepatnya di daerah bogor. Cukup terpencil namun sangat asri, dan terasa sekali suasana alam ala pegunungan di daerah sana.

Berbeda dengan di jakarta, yang sangat panas dan juga gerah. Suasana di desa tersebut sangatlah sejuk dan asri. Bahkan kampung ku sendiri, tak se sejuk suasana di desa ini.

Ada beberapa rombongan mobil yang di tumpangi oleh beberapa keluargaku dan juga tetangga. Kami akan menghadiri acara pernikahan tetangga rumah yang berdekatan rumahnya dengan rumah ku.

Tetangga ku itu orang bogor dan akan melangsungkan pernikahan putrinya di kampung.

Beberapa jam kami naik mobil, dari jakarta-bogor. Setelah melewati berbagai macam jalanan, mulai dari aspal mulus, landai, bergelombang, hingga beberapa saat bersenam jantung ria akibat jalanan yang di lalui lumayan terjal. Akhirnya kami sampai di desa yang di tuju.

Desa di areal gunung batu. Letaknya yang ada di bawah tebing membuat kami langsung turun ke desa tersebut dengan menuruni tanah landai dan terjal.

Cukup menyeramkan dan melelahkan, tapi semua lelah terbayar oleh sejuk nya suasana di sana. Di desa tersebut sangat dingin, keringat sampai tak keluar meski capek menuruni tanah yang sangat terjal.

Aku menginap beberapa hari di sana. Membantu jalannya acara pernikahan, sekaligus liburan di desa yang sangat asri.

Tak ada yang aneh di sana. Semuanya sama saja seperti desa di tempat lain. Aku melihat beberapa sosok makhluk tak kasat mata dan bentuknya sama saja seperti di tempat lain. Tak ada yang istimewa, tak ada yang membuat ku sangat ketakutan.

Ada sebagian dari mereka mengganggu, tapi masih bisa ku atasi dan masih bisa kutangani sendiri. Tak ada pengalaman horor pada awalnya. Semuanya berjalan baik.

Hingga di suatu pagi, di hari ketiga aku menginap di sana. Aku mendapati sebuah pengalaman yang cukup seram.

Aku selalu mendengar suara gamelan dan gendang di mainkan. Antara jam tiga pagi hingga menjelang subuh aku selalu mendengar suara tersebut. Terdengar seperti suara riuh, seperti ada sekumpulan orang yang tengah mengadakan pertunjukan.

Awalnya aku tak begitu perduli dengan suara tersebut. Aku hanya bertanya, gendang dan gamelan biasanya di gunakan untuk acara apa di desa ini. Orang-orang yang aku tanyakan, mereka menjawab jika gamelan dan gendang biasanya di gunakan untuk acara tari jaipong atau ronggeng.

Di daerah sana, jaipong dan ronggeng masih cukup di minati. Beda dengan di jakarta, saat itu aku bahkan tak pernah melihat tarian ronggeng dan jaipong secara langsung sebelumnya. Aku hanya melihatnya di televisi.

Suara nya terdengar sangat jelas. Dari hari pertama aku menginap, hingga hari ketiga aku ada di tempat ini. Suara tersebut masih terus aku dengar.

Waktu itu, di hari ketiga aku menginap. Sekitar pukul enam pagi, di saat kabut masih mengelilingi areal desa. Saat itu aku keluar dari rumah berniat untuk pergi ke kamar mandi. Kamar mandi dan rumah memang terpisah. Harus berjalan sebentar untuk mencapai nya.

Suasana nya sangatlah dingin, sepi, tak ada orang yang terlihat di sekitaran aku melangkahkan kaki. Aku berjalan perlahan, sembari menahan dingin yang lumayan membuat gigi ku bergemeretak. Padahal aku sudah memakai baju berlapis dan juga jaket tebal.

Tapi namanya juga areal gunung, sangat dingin jadi wajar saja. Terlebih lagi aku anak kota yang jarang merasakan hawa dingin dari alam. Hanya kipas angin dan AC yang menjadi sumber hawa dingin ku dan kedua benda ini tak sedingin udara di desa ini.

Setelah sampai di depan pintu kamar mandi. Aku langsung masuk ke dalam nya, hawa dingin membuat jadi lebih sering buang air kecil.

Air nya dingin seperti es, mampu membuat ku membeku jika aku mandi di jam sepagi ini.

Indigo Stories - Telah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang