Janji 20 - Harapan Orang Tua

34K 3.8K 162
                                    

Nirma mengetuk pintu kamar Giri dengan gusar, berharap si Boxer Merah segera membukakan pintu untuknya.

"Password-nya dulu!" teriak Giri nyaring, membuat Nirma menggerutu kesal.

Dengan ogah-ogahan, gadis itu menyebutkan password yang begitu menjemukan baginya. "Girindra, menantu idaman Mama mertua."

"Password accepted." Giri terkekeh geli, mendengar suara adiknya yang terdengar jengkel saat mengucapkan password itu.

"Lo ngetuk pintu, kayak rampok aja. Enggak bisa santai," katanya setelah membukakan pintu untuk Nirma.

Kadar kejengkelan Nirma pada kakaknya semakin meningkat, tatkala melihat Giri malah mengenakan dobok, bukan baju kasual seperti perkiraannya. "Lo kok pakai dobok, Mas? Jangan-jangan lo lupa sama janji lo, ngajakin gue jalan-jalan?"

"Sorry, Nir. Ada latihan tambahan sama anak-anak SD. Besok aja deh, jalan-jalannya."

"Tapi, gue mau jalan-jalannya sekarang," kata Nirma ngotot. "Gue males banget di rumah, Mas. Kalau Papa pulang dari temannya, paling gue diceramahin lagi. Lo sih enak enggak pernah diceramahin. Lah gue? Perasaan salah melulu di mata Papa." Nirma mengentak-entakkan kakinya kesal, sebelum akhirnya membanting diri di kasur Giri.

Giri duduk di sisi Nirma, dan mengacak pelan rambut adiknya. "Mungkin niat Papa baik, Nir. Papa enggak mau, masa depan lo berantakan kalau enggak disiapin dari sekarang."

"Tapi, gue capek, Mas," desah Nirma lelah. "Udah berhasil masuk Linus susah payah aja, enggak diselamatin gara-gara gue enggak lolos masuk seleksi jurusan MIA. Terus, tadi malam waktu lo belum pulang, gue diceramahin gara-gara nilai Bahasa Inggris gue jeblok."

"Gimana mau masuk HI (Hubungan Internasional) kalau Bahasa Inggris kamu kayak gini." Nirma menirukan ucapan Papanya dengan nada meremehkan. "Padahal yang gue tunjukin tuh, nilai ulangan yang paling mending. Coba Papa lihat nilai-nilai sebelumnya, bisa-bisa gue di-sleding."

Giri tertawa kecil mendengar keluhan adik semata wayangnya. Memang ayah mereka, kadang suka membandingkan kemampuan Giri dengan kemampuan adiknya. Nirma lebih kuat di pelajaran hapalan, sedang Giri di pelajaran hitungan.

"Nir, mungkin selama ini lo udah ngerasa, tapi enggak tahu cerita yang sebenarnya, karena Papa ngelarang gue cerita sama lo." Ucapan Giri membuat Nirma menaikkan alisnya tinggi. Giri memandang adiknya dengan lembut sebelum akhirnya menceritakan sesuatu yang ia simpan sejak lama.

Giri ingat, Nirma menangis dan tak mau keluar dari kamarnya, saat ayah mereka kecewa karena Nirma tak lolos masuk jurusan MIA. Padahal Giri tahu, Nirma mati-matian belajar, demi masuk SMA Linus, seperti keinginan Papanya.

Saat itu Giri menghampiri Papanya yang tengah bersiap-siap untuk kembali dinas di Kalimantan, memprotes tindakan Papanya yang begitu keterlaluan, walau akhirnya ua mau menerima keadaan Nirma masuk jurusan IIS.

"Giri, Papa cuma mau yang terbaik buat kalian berdua. Kamu tahu, susahnya merawat kalian tanpa Mama di sisi Papa. Biar Papa kerja keras, asal nantinya hidup kalian sejahtera."

"Papa cuma minta, kalian sekolah yang benar, kuliah yang benar, supaya nanti dapat kerja yang benar, enggak perlu capek-capek kayak Papa."

Giri mengangguk merespons kalimat Papanya. Ketika Giri masih SMP, Papanya pernah bercerita, dulu ia seorang teknisi mesin di perusahaan manufaktur kendaraan. Papanya bekerja siang malam, mengumpulkan uang untuk biaya kuliah, berharap bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Setelah menikah, Papanya kuliah di akhir pekan, sembari bekerja seperti biasanya. Hingga akhirnya ia lulus, dan kembali melamar di perusahaan tersebut dengan posisi yang lebih tinggi, hingga sekarang akhirnya sekarang ditempatkan di kantor pemasaran cabang Kalimantan.

Papa mereka sangat berharap Nirma dan Giri bisa kuliah di jurusan 'bergengsi', agar tidak dicemooh keluarga dari pihak Mama mereka.

Memang dulu pernikahan orang tua Nirma dan Giri, sempat tidak disetujui keluarga dari pihak Mama, karena Papa mereka saat itu lulusan SMK. Namun, seiring berjalannya waktu, orang tua dari pihak Mama mau menerima, walau kadang beberapa keluarga masih belum bisa menerima Papa Nirma seutuhnya.

"Enggak cuma lo, Nir, gue juga. Tapi, gue selama ini enggak protes karena gue tahu, gimana beratnya kehidupan orang tua kita dulu, walau gue masih kecil."

"Gue ngerasain sendiri gimana perlakuan Tante Astri ke gue. Tante Astri juga yang dulu ngomporin Nenek supaya kita dirawat sama mereka, waktu Mama meninggal. Untung Papa enggak mau," lanjut Giri berusaha menahan amarahnya.

"Itu sebabnya Papa mendidik kita dengan tegas, biar enggak ada yang ngerendahin kita, Nir." Ucapan Giri membuat Nirma membatu. Memang bisa saja Giri mengarang kisah yang baru saja ia ceritakan tadi. Namun, mata Giri menyaratkan kejujuran.

Nirma memang tidak begitu mengerti masalah antara keluarganya dengan keluarga besar Mamanya. Tetapi, sedikit demi sedikit Nirma ingat, bagaimana ucapan Tante Astri saat ia dan Giri tak sengaja bertemu dengannya di mall, tahun lalu.

Loh, ternyata Papamu punya duit buat bayar kuliah di jurusan teknik arsitektur ya?

Nirma saat itu belum terlalu mengerti, karena Giri langsung mengajaknya pergi setelah berpamitan.

Sedikit demi sedikit, puzzle yang ada di otak Nirma terangkai dengan baik. Papanya selalu mengajak mereka datang di acara keluarga beberapa jam sebelum acara dimulai dan buru-buru pulang dengan berbagai alasan, Papanya yang melarang mereka datang ke acara keluarga jika beliau sedang ada di Kalimantan, Papanya yang sering menelepon untuk menanyakan sekolahnya, dan begitu ingin Nirma bersekolah di Linus, membuat Nirma menyadari sesuatu, sebenarnya Papa sangat peduli padanya. Hanya saja, mungkin cara menyampaikan kepedulian itu kurang tepat.

"Maafin Papa ya, Nir. Papa enggak bermaksud keras sama lo, cuma Papa memang sifatnya kayak gitu. Jadi--"

Nirma mengangguk lemah dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa enggak dari dulu cerita sih, Mas? Gue kan jadi mikir negatif terus soal Papa."

"Papa enggak mau pikiran lo terpecah-pecah mikirin keluarga besar Mama juga. Papa cuma mau lo konsentrasi belajar," tukas Giri seraya mengusap air mata adiknya. "Udah, jangan nangis. Papa pengin kita jadi anak yang kuat. Lagian, kalau lo nangis, sayang bedaknya luntur."

Tanpa aba-aba, Nirma menggebuk bahu Giri hingga pemuda itu tak bisa menghindar.

Giri meringis seraya mengusap bahunya pelan. "Lo ikut gue aja gimana? Sayang udah dandan, batal pergi."

"Enggak ah, ngapain ngelihat bocah-bocah pada berisik?"

"Eh, jangan salah." Giri menggoyangkan telunjuknya tak terima. "Mereka tuh lucu-lucu tahu. Bikin ketawa terus kalau latihan."

Setelah menimbang beberapa saat, Nirma mengekori kakaknya keluar dari kamar, membawa eclair hasil praktik masaknya, dan masuk ke mobil menuju dojang.

***

Everything happens for a reason~

Stt...double update nih, Gengs. Langsung ke part berikutnya ya ^^

JANJI [Completed]Where stories live. Discover now