"Percayalah sama saya, Mas. Bayangkan saja, mana mungkin seorang non-Muslim tinggal di sebuah pesantren? Iya kan? Percayalah sama saya."

"Mmm ... Benar juga sih ...." ucapku semakin mawas. Dulu Nona Ayu juga pernah bertanya tentang Islam. Kenapa orang Islam sangat menjunjung tinggi derajat anak yatim? Yah, kujawab saja, karena Nabi Muhammad saw juga seorang yatim. Jadi dia tahu sendiri bagaimana sedihnya menjadi yatim, makanya Nabi memerintahkan untuk selalu membantu dan menyayangi anak yatim. Jangan sampai menzaliminya. Berani menyakiti yatim? Berarti neraka risikonya.

Apakah mungkin Nona Ayu tertarik pada Islam?

"Saya berharap memang seperti itu, Mas. Andai saja Nona Ayu itu benar-benar seorang Muslimah, pakai hijab, terus sholat bareng saya. Wah, hidupku pasti seru. Alangkah nikmatnya jadi manusia."

"Nah, berarti Mas Wawan sangat terobsesi menikahi Nona Ayu, kan? Ayo ngaku saja. He he."

"Sepertinya, seperti itu," tandasku.

"Saya akan bantu Mas Wawan merebutnya dari jeratan Kiai Wahab. Gimana? Setuju?"

"Setubuh! Eh, setuju!" geloraku antusias.

"Ini belok kiri ya?" tanya Mas Qodir.

"Iya, belok kiri sepertinya. Kalau lurus kan ke Bandara Juanda?" jawabku.

Mobil warna silver ini pun menyusuri Jalan Raya Tropodo. Menyaring tiap gang dan sempalan jalan. Mencari keberadaan pesantren al-Hikmah.

Semangatku semakin memuncak-muncak.

"Mas Qodir menengok ke arah kiri saja! Saya yang ke kanan!"

"Oke."

Beruntung, jalanan macet. Ternyata jalan macet pun juga tidak selalu merugikan. Deretan kendaraan merambat bagai sekelompok siput berbaris antre. Amat pelan. Udara siang semakin panas. Kota Sidoarjo ini seperti dalam oven saja.

"Nah, itu dia!!!" jingkrakku melihat plat bertulis al-Hikmah bertanda arah panah masuk.

"Belok kiri!" cetusku semangat.

Kami pun membelot ke kiri masuk ke sebuah cabang jalan. Mobil tetap dinamis menapaki Jalan Tropodo I. Aku tetap melototi tiap nama gang di sebelah kiri. Sedang Mas Qodir tetap fokus ke sebelah kanan.

Akhirnya, hari bahagia ini pun turun. Dewi fortuna mengucurkan keberuntungan ke kepalaku.

"Wah, Itu Nona Ayu!!!" teriakku. Mas Qodir sampai terjungkit kaget. Aku bergegas turun dari mobil.

"Nona Ayuuuu..... !!!" panggilku setengah mengejarnya. Dia menggiring anak-anak masuk ke dalam mobil.

Tubuh kurusku berdiri tegap satu meter setengah darinya.

"Mas Wawan?!" Nona Ayu terperanjat. Pandangannya membelalak.

"Iya, Non," grogiku lemas. Paru-paruku kehilangan tiga liter udara.

"Kok, Mas Wawan tahu keberadaanku?" tanyanya dalam rundungan keheranan.

"Hanya Tuhan yang mampu membuat skenario ini, Non," ucapku terkesima luar biasa.  Baju cerahnya dan gerai rambut lurusnya menyulut takjubku.

Aku terpesona. Maha suci Allah atas kuasanya menciptakan makhluk seindah dia. "Subhanallah, subhanallah," pujiku menghambur ke udara.

"Wah, saya lagi buru-buru ini, Mas, mau antar anak-anak lomba menyanyi di TK Wedoro. Mas Wawan masuk saja ke dalam," ucapnya tergesa-gesa.

Dari area garasi, muncullah Kiai Wahab yang juga keluar grusa-grusu.

"Loh, itu Kiai Wahab mau ke mana juga?" tanyaku.

Ratu Balqis Tidak BerjilbabWhere stories live. Discover now