10

459 17 0
                                    

"Ciat! Ciat! Ciat!" Sabetan tanganku bergerak zig-zag ke arah Jupri. Sedang Jupri menangkis seranganku penuh kekuatan.

"Ayo! Serang, Wan!" teriak Abah menyemangatiku.

"Hemm, rasakan tendangan ini, Jup!"

"Heaaaakkk... Plak! Plak! Plak!" Pukulanku menyerang sekenanya.

Kuserang Jupri penuh emosi. Kubayangkan wajah si Yono, si biadab tak punya hati itu.

"Auhhhh...!" Jupri mengerang kesakitan. Jotosanku sempat menyabik dagunya. Sementara Jupri menangkis pukulan ngawurku dengan gerakan tangan memutar ke segala penjuru angin.

"Hyaat! Hyatt! Rasakan ini!!! Teriakku mengunci mati gerakan Jupri. Dia terjerembap ke tanah. Tangannya kuremas erat dan kutindih tubuhnya. Dia tak bisa bergerak lagi.

"Kapok loh, Jup! Ha ha ha" gelak tawaku puas.

"Ah! Egh!" Jupri merintih. Akhirnya ia pasrah.

"Eh, eh. Jurus macam apa itu? Ngaco!" Abah datang melerai kami.

"Wuuu, wuuu, wuuu." Napasku ngos-ngossan. Keringatku mengucur deras. Pukul 09.00 pagi hamparan rumput terasa panas hingga badan pun cepat gerah.

Pagi ini Abah mengajari kami teknik dasar bersilat. Ada 9 teknik dasar yang ia ajarkan, diantaranya: teknik kuda-kuda, sikap pasang, pola arah, pola langkah, teknik pukulan, tendangan, tangkisan, guntingan dan teknik mengunci gerakan lawan.

Seminggu berjalan, Abah mengajari kami ilmu bela diri itu. Menurut Abah, jurus yang akan ia transfer lebih ke arah kekuatan dari dalam. Aku jadi teringat pada tukang pijat di kampungku. Namanya Pak Zainul, orang-orang biasa memanggilnya tukang pijat listrik. Sekali tekan, si pasien langsung terjungkal-jungkal. Satu tekanan jari sepadan dengan serangan 1.300 watt. Seperti yang pernah Abah praktikkan dulu ketika dia dipalak si Yono. Hanya dengan menjepit leher, Yono langsung kaku terkejang-kejang. Pasti seru sekali punya ilmu macam itu.

"Hemmm! Awas kau Yono yaaahh. Suatu saat kau akan berlutut mencium kakiku! Hemmm! Tunggu waktunya. Kublender kepalamu lalu kuoseng-oseng bersama cah kangkung. Biar tahu rasa loh, Yono!" Desir hatiku menyekam bara. Penuh dendam.

"Minumlah, Wan," Jupri mengarahkan botol air mineral padaku. Kucucup ujungnya.

Glek glek glek...

Segarnya air mengaliri tenggorokan. Sejuk.

Sehabis meneguk air putih, aku bangkit berdiri. Rasanya tak puas menggelut si Jupri. Ia kembali kutantang. Jarit bajunya kutarik. Kuangkat tinggi-tinggi. Seolah-olah Jupri ini adalah Yono. Jadi bebas mau kuapain saja dia.

Plakkk...

"Auhh...!" Jupri kesakitan.

"Duh! Kamu, Wan!" sentaknya.

Satu pukulan dia balas. Dorongan tangannya sangat kuat. Kedua dempalan telapaknya merobohkanku dari arah samping. Aku tersungkur. Tak mampu mengendalikan balasan si Jupri. Tak sadar, badanku terjungkal mengenai pagar kawat.

"Arrrgggg...!!!" Aku melonglong keras.

"Auh, auh, auh." Aku kesakitan hebat. Perih sekali. Ujung kawat merobek pipiku. Berdarah. Tetesannya merabahi jambangku.

Sakit sekali rasanya. Pipiku terluka.

"Hhhssss... aauhh, perih."

"Loalah, kamu terluka, Wan?" Abah mendekatiku.

"Maaf, Wan, saya nggak sengaja," sesal Jupri.

Aku lantas berjalan cepat menuju meja Nona Ayu.

"Ya sudah sana! Minta obat ke Nona Ayu," ucap Abah padaku.

Ratu Balqis Tidak BerjilbabWhere stories live. Discover now