20

352 15 0
                                    

Hari ini aku dan Mas Qodir kembali ke Sidoarjo. Haluan kami ke kota udang ini bak korban HAM mencari keadilan. Nyatanya aku memang korban kebejatan HAM. Aku sangat berterimakasih pada Mas Qodir. Dia mati-matian menjadi detectiv. Mencari sabab musabab kenapa aku dipenjara? Kemarin, dia sudah mendatangi Polrestabes hingga ke Kejaksaan Negeri.

"Mas? Apa saya tidak keluar uang sama sekali? Sampean ngalor ngidul demi saya?" tanyaku sambil mengibas-ngibas leher dengan kipas kertas karton. AC mobil mati. Jalanan kota Sidoarjo membara. Sumuk sekali.

"Tenang saja Mas, saya ini bergandeng dengan LSM kemanusiaan dari Amerika. Secara gratis mereka mengalirkan dollarnya demi penegakan HAM di negeri ini."

"Saya nggak enak loh, Mas, jadinya. Saya harus mengucap kata apa ke sampean? Sudah sedia membantuku seperti ini."

"Santai saja, Mas. Selain bekerja, saya berniat menolong orang," ucap Mas Qodir mengoper setir ke kanan ke kiri. Tubuhku ikut gerakan mobilnya. Serong ke kanan, serong ke kiri.

"Jika kita mampir ke tempatnya Nona Ayu bagaimana, Mas? Dia itu mantan pegawai Lapas. Mungkin ada tambahan informasi tentang saya darinya," ajakku pada Mas Qodir.

Maksud hati biar sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekalian, mumpung sedang ke Sidoarjo. Rasa rindu padanya tentu menjulang tumpah-tumpah. Aku sudah tidak sabar untuk menemuinya. Mau kuhubungi, tapi sayang, nomor teleponnya tidak aktif.

"Nggak apa-apa, Mas. Boleh," respon Mas Qodir. Orang ini baik sekali ternyata.

"Rumahnya di mana Nona Ayu itu, Mas? Dia kekasihnya Mas Wawan ya?" tebaknya.

"Hi hi hi." Aku meringis-ringis. "Bukan kekasihku, tapi dia sebenarnya sudah kuanggap istriku sendiri, walau hanya dalam mimpi. He he."

"Di daerah Tropodo katanya, dia berada di pesantren yatim piatu al-Hikmah, milik Kiai Wahab," jelasku.

"Lamar saja, Mas. Keburu diambil Pak Kiai itu," kata Mas Qodir sekenanya.

"Halah, nggak mungkin, Mas. Nona Ayu itu orang Hindu," bantahku.

"Bisa ditebak kok, Mas. Hubungan antara Pak Kiai dengan perempuan Hindu itu. Sedekat apa mereka? Tidak mungkin mereka bisa sedekat itu kecuali ada kerekatan emosional. Terka saja si Nona Ayu sedang belajar agama di sana. Kan pondok pesantren yah kalau nggak salah?"

"Iya pesantren itu. Mmm ... Bisa juga sih. Kiai Wahab itu teman akrab ayahnya Nona Ayu. Kali saja Nona Ayu dianggap anaknya sendiri terus dia tinggal di rumah Kiai?"

"Ah, nggak mungkin kalau itu, Mas!" Sanggahnya.

"Wanita yang tinggal bersama seorang kiai atau ustadz harus bermahram. Artinya mereka sudah harus ada ikatan batin. Alias nikah sirih mungkin?" tambah Mas Qodir membuat kulit ariku bergetar. Badan jadi adem panas. Telapak tanganku berkeringat.

Kepalaku mendidihkan kecurigaan luar biasa. Jangan-jangan memang benar tebakan Mas Qodir ini. Dia kan seorang detektiv. Detektiv itu cerdas. Otaknya encer. Dia sudah berpengalaman. Observasi dan uji kasusnya jarang mbeleset. Pasti Nona Ayu dengan Kiai Inggris itu ada apa-apanya?

"Hemmm!" Tanganku mengepal bulat.

"Awas, siapa yang berani mencuri Nona Ayu dari hatiku, akan kuajak duel dia sampai mati pun aku rela!" pelanku.

"Emang sudah siap mati, Mas?" sahut Mas Qodir, ternyata dia mendengar gemeresek gerutuku.

"Belum siap, Mas," pelanku.

"Makanya, Mas, cepat dilamar tuh wanita," katanya lagi.

"Haram hukumnya Mas, nikah dengan wanita beda keyakinan," jawabku.

Ratu Balqis Tidak BerjilbabTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang