"Kok bekas, Mas?" Protes Salsabillah meraut muka kecewa.

"Nggak papa. Nanti kita bersihkan kacanya. Yang penting bisa digunakan kan?"

"Oala, ya wes!"

"Ayo Pak! Angkut wes! Rumahku di Sidodadi sebelahnya kantor kepala desa. Rumah cat biru. Cari aja rumahnya Wawan. Atau kita bareng saja ke rumah?"

"Nanti saja, Mas. Habis Dhuhur saya kirim."

"Oke, siap Pak, kalau begitu."

Setelah membelikan Salsabillah etalase, kami berdua memesan banner dan poster. Semoga usahanya berkah. Jualannya laris manis dan Salsabillah bisa terus semangat bersekolah.

***

Ibu, di mana dia berada? Hatiku miris kala mengingatnya. Tidak terdengar lagi suara bawelnya. Tidak kudengar lagi suara panggilannya ketika waktu Subuh. Sungguh aku sangat merindukannya. Rasa rindu membuncah-buncah. Tumpak ruah menusuk relung dada.

Kutengok dapur. Biasanya ibu duduk di depan tungku menggoreng masakan. Atau biasanya duduk di amben kayu memarut kelapa. Tapi, kini dia tidak terlihat lagi. Aku berjalan ke belakang rumah, mungkin ibu sedang menjemur baju. Kuintip, ternyata ibu juga tidak terlihat.

"Ya Allah. Menderita sekali hidupku ini. Apa salahku ya Allah? Sehingga engkau menimpukkan aneka musibah bertubi-tubi ini. Mulai dari ditinggal mati Balqis, diriku difitnah dengan penjara, ibuku menghilang entah ke mana, bapakku sakit parah. Ya Allah, kok berat sekali ujian-Mu ini? Kapan aku lulusnya ya Allah? Sebisa mungkin cepat luluskanlah diriku dari kelas ujian ini. Hamba mohon."

Sajadah kulipat. Kopyah putih kutaruh kembali di atas meja. Suara panggilan Budhe Sri mengetuk pintu kamarku.

"Wan, ada Mbah Poer," serunya.

"Sebentar, Dhe. Wawan ganti celana dulu."

Tak lama kemudian kutemui Mbah Poer. Dia ini sebenarnya Ustadz setengah dukun. Pekerjaannya serabutan. Kadang jadi moden, kadang diundang mimpin tahlil, kadang nyuwuk orang sakit, kadang pula dimintai bantuan seperti undangan Budhe Sri ini.

"Mbah, ini Wawan anak pertamanya Dek Rodiyah. Tolong ya, Mbah. Sampean terawang dulu. Di mana Dek Rodiyah sekarang berada? Sudah empat tahun menghilang dari rumah nggak pulang-pulang. Tolong ya, Mbah," kata Budhe Sri pada Mbah Poer yang duduk tepat di depanku.

"InsyaAllah, saya panggil dulu perewanganku. Minta tolong, saya butuh sendirian di sebuah ruangan sama air putih di gelas besar, tolong disiapkan," pintanya.

"Emmm, di kamarku saja ya, Mbah?" tawarku tidak mau lama-lama. Biar segera kelar, biar segera pulang dukun tua ini. MasyaAllah, aku tidak tahan bau badannya. Sengak. Apek. Bau rokok bercampur aroma balsem. Kudu muntah rasanya.

"Ini air putihnya, Mbah," ucapku menyerahkan segelas air putih pada si dukun yang dia sudah berada di kamarku. Semoga aksi terawangan bersama jinnya cepat selesai. Setelah itu kamarku akan kusemprot dengan sebotol minyak wangi. Siapa yang tahan dengan bau macam itu? Bisa-bisa bau tidak enaknya itu hinggap abadi di tembok kamarku. "Wekkk..." Makanya setelah usai akan segera kubersihkan kamarku.

Sepuluh menit saja, Mbah Poer lalu kembali ke ruang tamu. "Ibumu ini masih ada kok, Wan. Dia sekarang berada di arah barat. Dia sedang sakit. Tubuhnya saya lihat kurus kering," terangnya.

"Jadi, ibu masih hidup kan, Mbah?" tanyaku memastikan.

"InsyaAllah masih hidup atas kuasa-Nya. Kamu harus terus mencarinya, Wan. Sampai ketemu. Kalau bisa cari ke arah barat saja."

"Nggeh, Mbah. Petunjuknya cuma itu daja ya? Apa nggak bisa Mbah kasih alamat lengkap keberadaan ibuku?" celetukku.

"Yah, nggak bisa! Emangnya Mbah ini malaikat? Itu adalah sekadar isyarat, Wan. Petunjuk itu sudah dikasi cuma-cuma dari atas. Jika kita masih melonjak minta lebih? Naudzubillah! Bisa-bisa Yang Maha Kuasa akan murka ke kita!"

Ratu Balqis Tidak BerjilbabWhere stories live. Discover now