"Se, sebetulnya Wawan menyukai Nona Ayu..."

"Allahu akbar!!!" legaku dalam hati. Napasku terlepas 1.200 joule daya kuda.

Aku terbisu. Pandanganku langsung tertunduk lesu. Bodohnya diriku ini.

"Bagaimana bisa Mas Wawan berkata seperti itu?" tanggap Ratu Balqis ini tersenyum lebar. Keningnya melipat tiga lekukan.

Aku hanya diam dalam kebodohan. Kelinci hutan terpanah. Tewas. Tak bergerak.

"Mas Wawan tidak sedang mabuk kan?" tanyanya ringan.

Aku menggeleng.

"Emmmm... emang rasa suka pada perempuan itu seperti apa sih, Mas?" tanyanya.

"Mmmmm..." Aku berpikir.

"Seperti seorang kutu buku tidak mau kehilangan bukunya, Non."

"He he. Oh, ya?!"

"I, iya!"

"Ngomong-ngomong Mas Wawan suka baca buku kan? Sebentar yah. Wait!"

Sang Ratu Balqis menggeledah rak almarinya. Mencari sesuatu. Beberapa detik kemudian dia kembali menghadapku.

"Ambillah buku ini, Mas. Baca lalu simpanlah!"

Ratu Balqis memberiku sebuah buku berjudul Love is Blind. Cinta itu buta.

"Beneran buku ini buat saya, Non? Wah terimakasih banyak, Non."

"Sama-sama."

Aku semakin salah tingkah. Apakah ucapanku ini termasuk tindakan bodoh? Ah, biarlah. Yang penting diriku sudah jujur. Hatiku pun lega.

"Jika Mas Wawan punya rasa cinta pada seorang perempuan, maka yang harus Mas Wawan lakukan adalah: jaga kesucian cinta itu, perjuangkan lalu berkorbanlah demi dia."

"Cinta akan abadi jika mengandung tiga unsur itu," tambahnya.

"I, iya. Betul itu, Non."

"Mmmm, Mas Wawan sudah saya beri nomor telepon kan? Kita berlanjut komunikasi dari handphone saja ya, Mas. Sukses selalu buat kamu, Mas! Good luck!"

***

Keluar dari ruangan Nona Ayu aku menggaruk-garuk kepala padahal kulit rambut tidak gatal. Biarlah, Nona Ayu suka atau tidak yang penting perasaanku sudah plong. Biar dia tahu bahwa hatiku ini tulus mencintainya. Lagi pula apa salahnya aku jujur? Iya toh?

Dianggap bodoh atau lancang tidak kuhiraukan lagi. Sekarang aku panggil si Jupri. "Jup, ayo ikut aku!"

"Ke mana, Wan?"

"Ke kamarku."

"Ada apa emangnya?"

"Sudah, ayo ikut!" tangannya kutarik.

"Bantuin aku bawa tas-tas ini ke depan ya!" pintaku.

"Tas siapa itu?"

"Sudah, jangan banyak bacot! Ayo angkat!"

"Ih, manja loh, Wan! Tas begini aja nggak kamu angkat sendiri?"

Kami berdua berjalan ke depan. Mbak Lilis sudah menungguku. Dia menyewa mobil carry. Atas permintaannya sendiri dia menjemputku. Aslinya aku tidak mau merepotkannya. Tapi apalah kata, tidak enak jika aku menolaknya. sudah dibela-belain menjemput, kutolak mentah-mentah. Betapa bekunya hatiku tak punya rasa kemanusiaan sama sekali pada orang yang selama ini sudah berbaik hati.

"Terimakasih, Jup, sudah bantuin aku. Dan pada akhirnya aku ingin meminta maaf padamu, Jup. Jika selama empat tahun ini aku telah banyak merepotkanmu," kataku pada Jupri.

Ratu Balqis Tidak BerjilbabWhere stories live. Discover now