"Bagaimana kisahnya hingga Mbak Lilis sampai dikhianati sang suami?" tambahku. Kulihat e-KTPnya bernama Lilis Hayati.

"Ceritanya begini, Mas..." paparnya sambil mengusap matanya.

"Semua ini berawal sejak setahun yang lalu ..."

Customerku ini bercerita:

Setahun pernikahan, hubungan kami mulus-mulus saja. Semulus kulitku yang kululur hampir setiap hari. Kebersihan tubuh, kemolekan, kesingsetan dan kecantikan senantiasa kurawat secara ketat. Uang gaji setiap bulan 20% pasti kusisihkan untuk anggaran kecantikan. Aku memilih jenis liptiks, maskara, pensil, bedak, parfum dan lain-lainnya yang paling bagus kualitasnya. Semua itu aku lakukan demi menjaga kemesraan dengan suami. Jangan sampai dia nyeleweng ke ladang lain atau ke rumput-rumput tetangga.

Hari itu Mbak Yuyun tetanggaku tengah dirundung duka. Suaminya meninggal akibat kecelakaan di pabriknya. Mbak Yuyun adalah teman baikku. Kemana-mana kami selalu berdua. Ke salon, makan bakmi, ngemall, arisan, selalu berdua.

"Yang sabar ya, Mbak," lirihku.

Mbak Yuyun masih mendekap mukanya ke dalam kain kerudung. Matanya sembab. Dia hanya bisa sesekali menjawab sapa dari puluhan pelayat yang datang silih berganti ke rumahnya.

Tujuh hari pun berlalu. Selimut duka mulai terbuka. Mbak Yuyun bangkit. Rona sedihnya memudar. Kini ia tampil lebih anggun dari biasanya. Seorang janda belum beranak mungkin memang seperti itu? Mumpung belum punya anak, aji-aji mumpung dari pada keburu usia tua? Terlambat, tidak laku? Mbak Yuyun pun tebar pesona ke selatan ke utara penuh keanggunan.

Sedangkan aku? Aku baru beberapa minggu lalu melahirkan. Aku memang bersyukur bisa melahirkan secara lancar, namun aku sedih. Kenapa tubuh seksiku yang selalu kujaga mati-matian sejak masih perawan, kini meluber kemana-mana. Perut tak rupa perut. Lipatannya bertingkat-tingkat bagai kue lapis ditumpuk dua. Apalagi paha dan betis, ukurannya nyaris sama. Tak bisa dibedakan mana betis mana paha?

Sikap suamiku mulai berubah. Tidak terlalu mencolok memang. Tapi apa yang aku rasakan sebagai seorang wanita sangatlah sensitif. Dulu ketika masih belum hamil, seminggu bisa tiga atau empat kali. Namun kini, jangankan seminggu sekali, empat bulan kelar tidak pernah digituin. Entahlah, setiap malam aku merana. Terkadang aku menangis sambil menyusui anakku yang rewel. Aku mengelus dada. Nestapa.

Suamiku jadi jarang pulang tepat waktu. Jika dulu pukul 6 sore dia sudah tidak sabar ingin segera pulang, kini malah jam 10 malam atau jam 12 malam dia baru pulang. Pertama aku tidak menyulut curiga, karena suamiku orangnya sangat jujur. Dia beralasan lembur ketika kutanyai. Ketika aku cek ke teman-temannya, ternyata di tempat kerjanya tidak pernah ada lembur hingga malam hari. Akhirnya karena aku sudah tidak sabar lagi aku cecar habis-habissan suamiku itu.

"Kenapa sampean bohong, Mas? Kenapa, Mas? Kenapa?!" tanyaku setengah menangis. Dia malah cuek-cuek saja. Melempar tas. Mandi. Ganti baju. Lantas tidur tanpa menyambung pertanyaanku sekali pun.

Pagi hari, seperti biasa Mbak Yuyun menyapaku. "Eh, Mbak Lilis? Jangan lupa besok arisan di rumah Tante Dinar, yah."

"Iya, pasti. Aku nggak mungkin lupa, kok. Tenang saja."

"Emmm ... oh yah. Besok itu aku mau pulang ke Lumajang. Mau ngelayat. Ada saudara Ibu meninggal."

"Oala, innalillahi," ucap Mbak Yuyun simpati.

"Emmm, Mbak, aku mau nitip nasi buat Mas Didik ya. Besok dia pulang agak sorean. Kasihan nggak ada yang nyiapin makanan. Nanti aku ambilkan berasnya. Maaf ya, Mbak, jadi sering ngerepotin," kataku setengah sungkan.

"Ah, nggak papa. Mmm ... Mas Didik ada di rumah, kan?" tanyanya penuh semangat.

"Iya, dia ada di belakang rumah, lagi benahin motornya," jelasku.

Sebenarnya hatiku sudah mengabarkan isyarat, bahwa Mbak Yuyun sepertinya diam-diam menyukai suamiku. Namun aku diam saja. Aku ikuti saja seperti apa jeluntrungannya.

Tiba-tiba Mbak Yuyun masuk ke rumahnya lalu kembali dengan membawa semangkok kolak pisang. "Mbak, aku buatin kolak pisang buat Mas Didik. Sengaja nggak terlalu manis, soalnya Mas Didik kan nggak suka manis?" ujarnya.

Pikirku, bisa-bisanya dia tahu kalau Mas Didik sekarang menghindari gula jahat? Sebulan yang lalu kadar gulanya memang tinggi.

"Mmm ... iya. Taruh situ saja, Mbak. Wah, repot-repot saja dibuatin kolak segala?" ucapku.

Lah, ternyata Mbak Yuyun malah nyelonong menghampiri Mas Didik yang sedang belepotan oli dan obeng. Aku perhatikan mereka sambil menahan getirku. Aku menggeleng pelan. Kok ya segitunya? Dia malah mengelus pundak Mas Didik yang dempal itu.

***

Aku sengaja berpura-pura hendak pergi ke Lumajang. Semoga saja desir curigaku memang salah. Ya Allah semoga rumah tanggaku ini selamat dan tidak terjadi apa-apa.

Ba'da Isya. Dari kejauhan aku pulang menuju rumah. Kulihat rumahku gelap. Padahal aku sudah berpesan pada Mas Didik jika pulang malam, ruang tengah dan teras dinyalakan saja biar nggak disatroni maling.

Kakiku bertapak pelan. Selangkah demi selangkah. Apa mungkin Mas Didik pulang malam lagi? Bukannya tadi pagi dia bilang mau pulang sorean? Entah.

Dadaku berdecak cepat. Jantungku berdegub-degub tidak jelas. Keningku berkeringat. Napasku menghimpit. Pelan-pelan kubuka pintu tengah. Tidak terkunci. Sangat pelan. Deritnya pintu hingga tak terdengar.

Klekkk ... saklar lampu kutekan.

"Astaghfirullah...!!! Allah...!!!"

Jantungku ditombak belati tajam. Mataku melotot mau copot. Aku terjungkal. Aku menjerit. Perih. Pedih. Sakit.

"Tak mungkin! Tak mungkin!" Aku tidak percaya peristiwa keji ini benar-benar terjadi.

Si Yuyun wanita iblis itu benar-benar tega.

"Tega kalian! Tega!!"

Di balik kegelapan malam, ternyata mereka berdua tengah asyik bermadu cinta dan saling melumat kemesraan.

"Jahannam kalian! Jahannam!"

Yuyun dan suamiku tergagap. Kaget bukan kepalang. Secepat petir kedua manusia laknat itu merapatkan kembali bajunya masing-masing.

"Mbak Lilis?" kejutnya.

"Lilis?" tanya suamiku.

"Bukankah kamu pamit ke Lumajang ke rumah Ibu?"

Aku terpaku. Diam. Tangisanku mengisak-isak. Lara hatiku hanyut bersama arus air mataku. Betapa terpukulnya diriku malam itu. Sungguh tega. Sungguh biadab si Yuyun.

"Begitulah, Mas, ceritanya..."

"Begitu ya, Mbak?" pelanku ikut hanyut dalam keharuan.

Sejenak aku tergidik. Beberapa detik terdiam. Kemudian saya berpikir menu paket apa yang cocok kutawarkan pada customerku ini. Tapi, eit, sebelumnya harus kuselidiki dulu penyebab kenapa suaminya itu begitu tega menyimpang dari Mbak Lilis ini?

Ah, apa mungkin karena Mbak Lilis ini badannya melar? Tak serapat dulu ketika sebelum melahirkan? Mungkin, bisa jadi.

Seorang lelaki yang nyali imannya tipis terbuka kemungkinan akan lebih memilih buah yang segar dari pada buah yang kering.

Ting tung ....

Nomor antrean 12.

Astaghfirullah, rekanku si Dewi ternyata sudah mendapat 11 customer, sedangkan aku masih terhanyut bersama emosi customerku ini..

"Eih, cepetan kalau ngelayani customer itu! Ndang suruh gabung member! Tawarin produk. Uda gitu aja ..." bisik Dewi menegurku.

Aku berpikir lagi. Enaknya Mbak Lilis ini dikasih paket apa ya?

Ratu Balqis Tidak BerjilbabOnde histórias criam vida. Descubra agora