SEMBILAN : Fresh Pain

268 45 1
                                    

Tepuk tangan yang gemuruh, ucapan selamat yang tidak pernah berhenti di ucapkan, skinship berupa pelukan dan tepukan bersahabat di bahu, mengelilingi ruang lingkup Arthur.

Show-nya sukses.

Beberapa rancangan yang diperagakan sudah diminta untuk dijual karena beberapa orang tertarik untuk memiliki koleksinya di dalam lemari mereka. Namun Arthur tidak bisa menjual baju yang dikenakan model saat itu juga, tanggal release masih dua minggu lagi. Dan dia berharap peminat karyanya bisa tetap sabar untuk menunggu kapan dia akan menjual baju-baju itu.

Aku berdiri tak jauh dari Arthur, sibuk dengan kameraku. Jumpsuit putih yang ku kenakan terasa nyaman selama aku bergerak ke sana ke mari untuk membidik apa yang diminta oleh sepupuku itu. Sudah ada sekitar dua ratus foto di dalam memori baru, dia akan memilah beberapa untuk di pajang dalam website miliknya, dan beberapa akan ia jadikan post card untuk dikirim ke orang-orang yang sudah membantunya dalam perhelatan besar ini.

Danisha memelukku ketika ia baru memasukki backstage, "sukses!" teriaknya di hadapanku, dan kembali memeluki seluruh orang yang sedang berdiri di sekitar meja rias.

Aku bisa merasakan aura kebahagiaan memenuhi ruangan ini. Semua orang tampak tersenyum dan saling tertawa. Rasanya seperti menang lotre. Bahkan Mischa yang dua hari berwajah kaku, kini tertawa paling keras menyambut Danisha.

"Jadi ini yang buat lo bahagia lepasin kesempatan buat ngelola kelapa sawit, ya?" ucapku, lebih pada diriku sendiri.

Sebuah karangan bunga datang. Rangkaian lily putih dengan kertas bungkus berwarna merah muda, ditujukan kepadaku.

Aku harap kita bisa bertemu lagi.

Tanpa diberitahu siapa pengirimnya, aku sudah tahu siapa yang mengirimkan buket ini untukku. Ku hampiri resepsionis yang tadi memberikan buket itu padaku, dan memberikan bunga itu padanya.

"Untukmu." Tanpa mendengar pertanyaan dari sang resepsionis, aku pergi dari tempat ramai yang dipenuhi tawa berbagai orang di dalamnya.

Aku ingin pulang.

✈✈✈

Ada satu hal yang paling aku tidak suka di dunia ini dari kecil.

Yakni janji.

Janji itu seperti harapan kosong. Tidak tahu akan terjadi atau tidak., tidak tahu akan berujung bagaimana, dan itu membuat perasaanku jadi tidak tenang. Kadang mulas, kadang juga jantungku berdegup terlalu kencang seakan ingin keluar dari dalam. Dan ketika janji itu dibatalkan, kekecewaanlah yang timbul, dan membuat kesal setengah mati. Maka dari itu, aku benci jika seseorang sudah berjanji. Lebih baik tidak perlu mengatakan apa-apa, langsung saja melakukan apa yang diinginkan. Setidaknya sebuah tindakan akan jauh lebih menyenangkan daripada omong kosong berkedok janji.

Aku ingat, ketika aku ulang tahun yang ke sepuluh dulu, ayah berjanji akan ikut pergi merayakan ulang tahunku di Bandung. Namun sampai jam sepuluh malam, ayah belum pulang, dan ia baru pulang dua hari setelahnya.

Banyak hal yang orang janjikan padaku, seperti janji akan mencintai tapi berujung selingkuh, janji akan mendukung namun tak pernah hadir saat dibutuhkan, sampai janji kecil seperti akan makan malam bersama namun dengan alasan pekerjaan, janji itu batal terjadi.

Lebih baik janji itu dihapus saja dari muka bumi. Toh, tidak ada gunanya.

Dan tiba-tiba saja aku teringat janji Yorke beberapa tahun yang lalu. Harusnya aku tidak memercayainya, harusnya aku... ah sudahlah. Semuanya sudah terjadi.

[Complete] A LONG JOURNEYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang