SATU : Perjalanan Pertama

2.2K 118 8
                                    


Hari ini aku sudah menghabiskan dua jam di depan tumpukan kertas ditemani satu cangkir es kopi yang tak kunjung habis. Di hadapanku ada seorang pria dengan kemeja biru laut dan celana khaki, sedang mengawasi serta berbicara tentang hal-hal yang tidak ingin ku dengar. Suaranya dalam, dan tak kan ada yang menyangka jika suara macho seperti itu suka sekali mengeluh. Biasanya, dalam novel roman, pria bersuara macho selalu memiliki image dingin, misterius, dan alpha dari segala alpha. Namun mungkin tidak dengan yang satu ini.

Baiklah, lupakan saja. Aku tidak pernah menulis cerita roman, dan aku bukan orang yang tergila-gila dengan Harlequin atau cerita klise dengan romansa yang menggebu-gebu lainnya. Aku hanya mengambil kesimpulan dari cerita Hani yang mengatakan bahwa hero dalam novel roman seperti itu, alpha yang dingin, namun dicintai.

Dengan beragam hal yang ada di otakku, omongan pria di hadapanku ini rasanya seperti film bisu. Aku tak menangkap satu pun hal yang ia bicarakan. Bukan karena aku tidak menghargainya, namun itu tadi, aku tidak ingin mendengar apa yang disampaikannya.

Sambil menghiraukan omongannya, tanganku menari dengan irama yang sama pada tiap lembar kertas yang ku ambil, dan ku tumpuk kembali ke tumpukan yang baru. Tinta biru yang sedikit menorehkan warna lain, yakni ungu, tercetak seperti stempel. Botol tinta di hadapanku masih terbuka, menunggu untuk digunakan kembali.

"Kamu nggak pegel tanda tangan sebanyak itu? Kan kita bisa ada—"

Pada akhirnya, aku mendongak dan mengangkat telunjuk di depan wajahnya, "kita udah omongin ini berkali-kali sampai bosen, Ge. Biarin gue tanda tangan lima ribu kertas ini dengan tenang. Gue masih ada waktu tiga hari. Semuanya akan selesai tepat waktu, tenang aja." Kataku.

Ge menatapku pasrah dan memilih sibuk dengan pekerjaannya. Pensil di tangan kiri, dan kamus di sebelah kanan dari tumpukan kertas di hadapannya. Kami bekerja dalam diam, sesekali aku menggumamkan lagu yang kebetulan teringat, dan Ge tetap setia dengan tumpukan kertas itu, tak terganggu.

Es di gelasku sudah mencair semua, rasa minuman yang tadinya pahit namun segar itu kini sudah hambar. Hanya aroma kopi yang tetap kuat tidak ikut menghilang. Aku meneguknya sampai habis, dan menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-paruku dengan oksigen berbau hujan yang belakangan ini sering ku konsumsi. Hujan kini tak lagi mengenal musim.

"Mau kopi? Camilan?" tanyaku pada Ge. Namun ia tak mengacuhkanku, dan tetap setia meneliti kertas-kertas di hadapannya.

Aku mengedikkan bahu tak peduli. Namun begitu, aku tetap menuju dapur untuk membuat es kopi di teko, dan mengambil satu toples nastar yang dibeli mama minggu kemarin. Sementara Ge masih sibuk dengan pekerjaannya, aku menaruh teko dan toples itu di meja kecil yang tak jauh dari meja tempat kami menghabiskan waktu untuk sibuk dengan kertas-kertas. Ge selalu marah jika aku menaruh makanan atau minuman di meja yang sama. Saat aku tanya alsannya, ia hanya berkata, "ya jangan pokoknya." Bukan jawaban yang ku inginkan sebenarnya.

Tiba-tiba Ge menjulurkan kepala untuk melihat kamar tidurku. "Kamu nggak mau pergi ngebolang lagi kan?" tanyanya.

"Emang kenapa?"

"Nggak kan?"

"Sekarang sih belum ada rencana."

"Bagus kalau begitu."

Aku menahan tawa, apa jadinya jika aku benar-benar pergi dan ia tengah merencanakan suatu hal yang menyangkut kehadiranku. Membayangkannya saja sudah membuatku geli karena senang. Aku selalu senang membuat Ge panik, terlebih jika ia sudah marah. Rasanya seperti mendapat pujian atas hobi sekaligus pekerjaan yang kujalani sekarang ini. Sebenarnya aku sudah tahu, lewat pertanyaan yang dilontarkannya barusan, dia akan membuat suatu acara dengan kehadiranku yang diharapkannya. Ge gampang sekali ditebak, dan yang jelas, ia tidak mahir berbohong.

[Complete] A LONG JOURNEYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang