"Bagus. Apa yang Anda rasakan?" tanya pria itu lagi. 

Kinara menelan salivanya dengan susah payah dan berusaha menjawab, "Sakit," ujarnya lirih, lalu ia menjilat bibirnya yang kering. "Kepala dan bahuku sakit," erangnya lirih. 

"Itu wajar karena Anda mengalami benturan yang cukup keras. Sebelumnya kondisi Anda sempat mengkhawatirkan tetapi saya yakin anda pasti akan sekarang segera pulih. Kami akan memberikan obat untuk mengurangi rasa sakitnya."      

Kinara memejamkan matanya lagi. Diperlukan banyak tenaga membuka matanya. Beberapa kali Kinara terbangun dan ia masih saja berada di kamar rumah sakit. Rasa sakit yang ia rasakan sudah banyak berkurang. Ketika ia akan bergerak, sakit menyerang bahu kirinya. Ia meraba dan ada perban yang membalutnya, mungkin terluka dan sedikit memar. Kepalanya terasa sakit karena itu pelan-pelan ia menyentuh kepalanya. Perban? Apa terjadi sesuatu dengan kepala? Ia mendesis kesakitan saat menggerakkan kepala untuk melihat sekelilingnya. Kenapa ia bisa di sini? Siapa yang membawanya? Bukankah waktu itu ia menangis di samping gudang lalu saat ingin pergi ia mendengar suara gaduh. Ah, ia ingat. Apa anak-anak itu baik-baik saja?  

"Hei. Jangan banyak bergerak.” Gara menahan gerakan Kinara agar tetap di tempatnya.

Ini ... Kinara menoleh ke samping kanan. Pria itu memandangnya dan tersenyum kepadanya. Meski ia masih dalam pengaruh obat, ia masih bisa mengenali senyuman yang dulu ia inginkan. Kenapa dia tersenyum padanya? Apa yang membuat pria itu berbaik hati memberinya senyuman? Ia kembali merintih.

"Ra." 

Apa pendengarannya salah? Benarkah Gara memanggilnya dengan lembut? Ke mana hilangnya teriakan yang selalu dia lemparkan padanya? Astaga. Apa sefrustrasi itu sampai bermimpi yang tidak-tidak seperti ini? Tak bisa ia ingkari jika Kinara selalu memimpikan hal ini. Jauh di alam bawah sadarnya ia masih menyimpan rasa untuk laki-laki itu. Ia berusaha mengenyahkannya tapi hidup dalam satu atap bersamanya membuat perasaan tersebut perlahan kembali muncul. Meski dia berpura-pura menutupi dengan berbalik membenci pria itu. 

Perasaan ini tidak bisa ia bohongi. Katakanlah dirinya wanita bodoh yang mencintai musuhnya. Namun mendengar ucapan kebenciannya kemarin membuatnya sakit hati, menyadarkan dirinya bahwa cintanya tak akan dan tidak mungkin terbalas, dan tugasnya kini adalah menghancurkan sisa perasaan yang ada sampai ke akar-akarnya. Lelah dengan pikirannya, ia kembali memejamkan mata mengusir mimpi tentang Gara. 

"Ra, kamu sudah bangun? Sebentar lagi perawat akan kemari membersihkan badanmu.”

Kinara langsung membuka matanya. Jadi ini bukan mimpi? Senyuman dan panggilan lembut itu nyata? Ia menatap Gara dengan pandangan tak biasa. Bukan pandangan penuh cinta tapi kebulatan tekad untuk membuang perasaannya untuk pria ini. 

Tidak lama perawat datang dan Gara pun keluar. Dengan cekatan dan hati-hati suster membersihkan badan Kinara. "Ibu beruntung punya suami seperti Bapak. Beliau tidak pernah pergi meninggalkan Ibu, apalagi pas Ibu dalam kondisi mengkhawatirkan. Bapak seperti orang gila teriak ke sana kemari agar Ibu cepat ditangani," cerita perawat tersebut dengan ramah. Wajahnya juga terlihat gembira. 

Mata Kirana terbelalak kaget tapi ia berusaha menetralisir rasa keterkejutannya tadi. "Memang saya tidak sadarkan diri berapa lama, Sus?" lirih Kirana sedikit meringis saat rasa sakit ia rasakan kembali di kepalanya. 

"Dua hari, Bu. Bapak cuma pergi kalau pas mandi saja selebihnya di sini terus." jawab perawat itu. "Saya permisi ya, Bu."

Perawat itu keluar meninggalkan Kinara dengan rentetan pertanyaan dalam otaknya. Reaksi yang terlalu berlebihan untuk orang yang membencinya.

🌰🌰🌰 

Gara sengaja tidak kembali ke kamar Kinara tapi memilih ke kantin rumah sakit. Ia perlu sendiri untuk menjernihkan pikirannya. Gara memilih duduk di kursi samping jendela yang menyuguhkan taman rumah sakit setelah sebelumnya memesan kopi hitam. Dia berpikir bahwa kejadian di gudang membuka tabir gelap yang melingkupi hubungannya dengan Kinara. Ia harus segera mengetahui semuanya agar bisa mengambil tindakan ke depannya. 

"Ga," sapa Bian lalu duduk di kursi depan Gara. Biarpun mereka tidak pernah bertegur sapa saat ia menjemput Kinara, tapi ia tahu siapa pria di depannya ini dan bagaimana hubungan keduanya. "Kenapa di sini? Ada yang sakit atau menunggu teman? Atau …." 

"Kinara dirawat di sini," jawab Gara cepat.

“Kinara? Dia kenapa?" Bian kaget mendengar ucapan Gara. Pantas saja ponselnya tidak bisa ia hubungi. Amarah Bian seketika memuncak. Ia berdiri lalu mencengkeram kerah kemeja yang Gara kenakan. Matanya berkilat-kilat penuh kemarahan. "Apa yang sudah kamu perbuat padanya?” teriak Bian sampai menarik perhatian pengunjung kantin tapi ia tak peduli. “Kamu melukainya? Apa kamu sangat membencinya sampai ingin membunuhnya?" ujar Bian geram.

"Apa maksudmu, Bi? Meskipun aku membencinya tapi aku tidak ada niat untuk membunuhnya. Aku bukan dia yang menyingkirkan Vina karena benci," sanggah Gara. Ia menepis cengkeraman Bian. Bagaimana bisa pria itu menuduhnya seperti itu? Meskipun ia membenci Kinara tapi tidak sedikitpun terbersit niat untuk melukainya. 

"Oh ya? Aku harap itu bukan omong kosong." Jawaban meragukan keluar dari Bian. "Baguslah, setidaknya kamu berbeda dengan adik dan mamamu.” Bian menyeringai kecil dengan maksud mencemooh Gara. “Aku rasa selama ini kamu buta sekaligus bodoh karena membenci seseorang yang harusnya kamu lindungi. Membenci orang yang tidak bersalah. Aku turut berduka cita atas kematian adikmu tapi kurasa Vina sudah mendapatkan hukuman atas perbuatannya pada Kinara." Bian berdiri dan berlalu dari hadapan Gara. 

Sekali lagi Gara dibuat bingung dengan ucapan Bian. Mereka semua membuatnya semakin bingung. Mengapa tidak mengatakannya sekalian saja? Mereka membuatnya menebak-nebak dan itu menjadikan dirinya seperti ucapan Bian tadi, orang bodoh! Ia lantas menyesap kopinya yang mulai dingin dengan cepat dan sesudah itu ia akan melihat Kinara lebih dulu setelahnya akan pulang. Ia perlu istirahat. Rasa lelah bukan hanya mendera pada tubuhnya saja tapi juga pikirannya. 

Gara kembali ke ruangan Kinara setelah membayar kopinya. Akan tetapi saat ia masuk Kinara sedang tidur dan Gara merasa mungkin itu karena pengaruh dari obat yang dokter berikan. Dipandanginya wajah pucat Kirana membuat Gara sedikit prihatin dengan banyak prasangka tak terbaca dalam pikirannya. Ia mengusap lembut kepala Kinara yang bebas dari balutan perban dan itu ia lakukan dengan pelan serta sangat hati-hati. Ia tak ingin menyakiti wanita ini dan tak ingin lagi disalahkan semua orang atas sikap kasarnya pada Kirana.

"Cepatlah sembuh, aku akan mendengarkan semua cerita yang ingin kamu katakan."

Teh tarik manggg!

Waiting For Love (Sudah Terbit)Kde žijí příběhy. Začni objevovat