Bagi Gara dirinya salah, apa pun ucapannya dia tetap bersalah.
Lama ia menangis dan berusaha meredakan tangisnya, perasaannya sedikit lega. Paling tidak kemarahannya menguap dan membuatnya bisa berpikir dengan tenang. Kinara mengembuskan napas panjang, berharap semua himpitan di dadanya ikut terbuang lalu menggantinya dengan menghirup udara dalam-dalam, agar kantong paru-parunya terisi penuh. 

Ia beranjak dari duduknya ingin kembali ke rumah, tapi langkahnya terhenti mendengar keributan dari samping gudang. Karena penasaran—sifat inilah yang membuatnya mendapat masalah dengan Gara—ia mendekat ke sisi gudang. Tampak susunan-susunan kotak yang mungkin sudah tidak terpakai. Ada beberapa rak berjejeran penuh barang yang ia tidak tahu itu apa.

Kinara mendekati sumber suara tersebut, astaga anak-anak itu lagi. Apa mereka tidak takut kejatuhan barang-barang itu? Mereka saling berebut dan saling dorong sampai anak laki-laki paling besar menabrak rak kayu yang memang sudah lapuk.

Dua anak laki-laki lainnya terus mendorongnya, rak yang kosong itu terus bergoyang. Saat Kinara akan membuka mulutnya untuk memarahi mereka, matanya melihat ke atas kotak-kotak kayu berukuran sedang mulai lepas dari tempatnya ... "Awas!" Kinara mendorong sekuat tenaga menjauhkan tubuh ketiga anak laki-laki itu dari kotak kayu yang meluncur ke bawah. Kinara sendiri terlambat menghindar, kotak tersebut pun menghantam kepalanya. 

Sakit seketika menyengat kepalanya. Ia refleks tangannya memegang bagian kepalanya yang sakit. Matanya berkunang-kunang, bau anyir menyeruak menusuk hidungnya. Ia menarik tangannya lalu melihatnya. Darah. Kepalanya berdarah. Rasa sakit kembali menyerang membuatnya menggeram kesakitan. 

"Pe ... pergi ..." ucapnya lirih dan lemah pada ketiga bocah tersebut. Ia sekuat tenaga menjaga kesadaran tapi sepertinya kesadarannya sedikit demi sedikit mulai menghilang. Perlahan tapi pasti akhirnya kegelapan menyelimuti dirinya.

🌰🌰🌰 

Sudah lebih dari tiga jam Kinara di ruang ICU setelah sempat tertahan di IGD, tapi Gara belum memperoleh informasi sedikit pun. Suster yang keluar masuk pun tidak memberikan jawaban pasti. Ini membuatnya frustrasi sebab ia khawatir dengan kondisi wanita itu. Ia tidak suka rumah sakit itu akan mengingatkan pada Vina.

"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Gara begitu melihat dokter yang menangani Kinara keluar dari ruangan. 

Dokter bernama Pras itu pun menjawab pertanyaan Gara. "Pasien masih belum sadarkan diri. Kami masih terus mengawasinya. Yang kami khawatirkan cedera di kepalanya sebab bisa menyebabkan cidera yang serius. Untuk luka di bahunya sudah kami tangani." 

"Lalu?" 

"Kami belum bisa memberikan kepastian, Pak. Yang bisa kita lakukan berdoa dan menguatkan hati untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Saya permisi." 

Usai kepergian Dokter Pras, ia menghempaskan tubuh di kursi tunggu depan ruangan Kinara. “Oh God.” Ia meremas rambutnya dengan kuat, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang besar. Melihat wanita itu tergolek tak berdaya membuatnya sakit. Ingatannya kembali ke beberapa waktu lalu, saat keadaan panik sedang melanda dirinya.

Bi Nah masuk ke ruang kerjanya dengan tergopoh-gopoh. Napasnya yang naik turun dan pendek menandakan wanita paruh baya itu berlari. Dengan ucapan terbata-bata dan tidak jelas, Bi Nah bilang Kinara berada di samping gudang. Samping gudang? Bukankah di sana tempat tumpukan-tumpukan kotak kayu dan beberapa rak yang penuh barang? Untuk apa wanita itu di sana?

Gara yang tidak sabaran lalu tiba-tiba saja perasaan aneh dan tidak nyaman di hatinya, meninggalkan Bi Nah sendiri. Ia memacu kakinya untuk berlari sekuat tenaga. Ia harus tahu apa yang terjadi. Tiba di samping gudang, Gara terhenti dan seperti disiram air es hingga beku. Bibirnya kelu sekadar bergerak. Tak hanya itu, darahnya pun seperti disedot habis hingga wajahnya memutih. Ini ….

Ia segera menghampiri tubuh tak berdaya Kinara di lantai batako itu, menyingkirkan kotak-kotak kayu tersebut dari tubuh Kinara. Darah! Ia tidak berani menyentuh Kinara, dia takut tindakannya berakibat fatal. Bi Nah dan beberapa orang yang mengikuti Gara terperangah kaget, juga tiga anak laki-laki itu dan orang tuanya. Mereka menangis, entah apa yang mereka tangisi. 

Pria yang berusia kepala tiga tersebut menyuruh Pak Atmo untuk memanggil ambulans. Ia panik. Takut jika Kinara tak segera mendapatkan pertolongan medis. Ia memanggil-manggil Kinara berharap wanita itu membalasnya tapi bibir itu terkatup. Matanya terpejam. Astaga kalau terjadi sesuatu pada Kinara ia pasti akan sangat menyesal. Selain itu ia menyesali ucapannya saat bertengkar tadi. Apakah Tuhan ingin menghukumnya karena membenci dia dengan membabi buta?    

Gara terus berdoa semoga Kinara baik-baik saja. Memohon dengan tulus dalam hatinya agar wanita itu bertahan. Tidak sekalipun ia ingin melihatnya celaka walaupun ia membencinya. Tidak lama mobil ambulans datang, petugas medis segera membawa Kinara ke rumah sakit terdekat dengan rumahnya. Gara memilih ikut naik di mobil ambulans. Tidak mungkin ia bisa meninggalkan Kinara sendiri.

Lagipula ia bisa membunuh dirinya sendiri bila mengendarai mobil dalam keadaan panik dan kalut.
Tepukan ringan di lengannya menyadarkan Gara lamunannya. Bi Nah, Paman Tomo, dan ayah dari ketiga bocah kecil tersebut berdiri didekatnya.

“Bagaimana keadaannya Non Kin, Den?” tanya Bi Nah cemas. Ia takut terjadi sesuatu yang fatal pada nona-nya itu.

Gara menghela napas panjang dan berat. "Belum sadarkan diri, Bik. Dokter masih terus memantau keadaannya."

"Apa itu artinya dia tidak baik-baik saja?" sahut ayah bocah tersebut. 

Ia menggeleng. "Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku sendiri tidak tahu bagaimana keadaannya. Aku harap dia baik-baik saja." 

“Amin. Aku harap dia mampu melewati cobaan ini. Aku kasihan padanya, mengapa Tuhan terus saja memberinya ujian? Papamu, keluargamu, bahkan teman-teman adikmu,” ujar Tomo dengan sedih.

Dahinya Gara berkerut. Ia menoleh kenapa Paman Tomo. "Apa maksud Paman? Kenapa dengan keluargaku?" tanyanya. 

"Ah tidak. Aku tidak tahu bicara apa,” elak Paman Tomo. Ia tak mungkin menceritakan bagaimana kelakuan keluarga Gara pada Kinara. “Apa Tuan akan berjaga di sini? Kalau tidak bisa biar aku saja,” tawar Tomo basa-basi.

Pria itu menolak gagasan Paman Tomo. Ia sendiri yang akan berjaga di rumah sakit. Tidak mungkin dirinya bisa tidur nyenyak saat kondisi Kinara belum jelas begini. Gara kemudian memerintahkan tiga orang tersebut pulang karena tidak ada gunanya banyak orang yang berjaga. Ia juga berpesan kepada Bi Nah untu menyuruh salah satu pekerja untuk membawakan makanan, kopi hitam, jaket, dan baju ganti.

Tbc.

Waiting For Love (Sudah Terbit)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon