Gitar Senja

Mulai dari awal
                                    

"Dit, kamu udah ngerjain PR matematika belum?" Tanyaku panik.

"Belum, santai aja."

"Santai ndasmu. Kamu lupa, kata Bu Fera apa, kalau nggak ngerjain?"

"Apa?"

"Lari keliling lapangan sepuluh kali terus bersihin kamar mandi cewe lantai satu," kataku sambil buru-buru mengerjakan PR.

"Oh, iya! Mati aku!" Andita langsung berdiri dan berkeliling ke meja lain. Tidak lama kemudian ia kembali dengan membawa buku tulis sambil cengar-cengir.

"Kenapa kamu?"

"Ada yang udah ngerjain, nih," jawab Andita lalu duduk. Ia membuka buku tulis yang ia bawa lalu menyalinnya. Tidak ketinggalan, aku juga buru-buru, menyalin jawaban yang sama. Beruntung, setelah Bu Fera masuk kelas, aku dan Andita sudah selesai menyalin jawaban. Sungguh, memulai hari dengan matematika itu, menyebalkan. Belum lagi, Bu Fera yang terkenal dengan julukan killernya, menambah rasa malas untuk mengikuti pelajaran.

Dua jam terasa seabad bagiku. Begitu bel istirahat berbunyi, aku dan Andita langsung keluar dan terburu-buru menuju kantin. Biasa, takut kehabisan.

"Aku tunggu di sini ya," kataku begitu telah membeli semangkuk bakso kesukaanku. Andita mengangguk. Beberapa kali, aku meniup asap yang mengepul dari kuah bakso itu, sembari menunggunya. Tiba-tiba, aku teringat pria kemarin sore. Aku memerhatikan setiap murid yang memasuki kantin, sembari mengingat-ingat postur tubuhnya. Barangkali ada pria itu.

"Mel, ayo." Tiba-tiba Andita sudah berdiri di depanku membawa sepiring siomay. Aku terbuyar dari lamunanku.

"Eh, iya."

"Nyari siapa, sih?" tanya Andita heran melihat ekspresiku yang sedikit terkejut tadi.

"Nggak nyari siapa-siapa. Udah yuk, nanti keburu bel masuk," ajakku sambil berjalan. Andita menatapku bingung, lalu mengikuti. Begitu sampai di kelas, kami duduk, lalu menyantap makanan yang dibeli.

"Kamu kenapa, sih?" tanya Andita tiba-tiba di sela makan. Aku menatapnya bingung.

"Apanya?"

"Tadi pagi, nanyain siapa yang bisa main gitar, terus tadi kamu kayak nyariin orang juga."

"Oh, itu." Aku menatapnya bimbang. Haruskah aku bercerita?

"Kasih tau dong, penasaran," kata Andita memohon kepadaku. Aku menghirup kuah bakso hingga tak bersisa lalu menceritakan kejadian kemarin sore kepadanya.

"Menurut kamu itu siapa?" Tanyaku setelah selesai bercerita.

"Siapa ya? Tadi kata kamu orangnya tinggi, putih, dan rambutnya berjambul ya?" Aku mengangguk. "Pemain gitar di angkatan kita, nggak ada yang tinggi, sih. Mungkin dia kakak kelas?"

"Bisa jadi. Aku nggak terlalu kenal sama kakak kelas di sini. Nanti sore aku mau ke taman belakang sekolah lagi. Mau ikut?" Tanyaku.

"Yah, aku nggak bisa, mau les, sorry," katanya sambil menggeleng.

"It's okay." Aku menaruh mangkuk di lorong kelas, begitu bel masuk berdering. Aku menatap jam dinding, yang bergerak begitu lambat. Entahlah, rasanya kepalaku dipenuhi rasa penasaran tentang pria itu.

Akhirnya, waktu ini tiba. Mentari perlahan turun dari singgasananya, menggantikan kebiruan langit. Andita sudah dari tadi, pamit kepadaku, untuk les. Aku memakai ransel biruku dan berkeliling sekolah. Rupanya aku sendiri lagi. Aku mengendap-endap menuju taman belakang sekolah. Benar saja, suara gitar itu terdengar lagi. Hatiku berdegup kencang. Akhirnya aku bisa membunuh rasa penasaran ini. Aku mendekatinya, yang duduk membelakangiku. Ia mungkin tidak menyadari kehadiranku.

Gitar SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang