Gitar Senja

1.3K 56 12
                                    

Bel berdering memecahkan kesunyian. Burung-burung gereja yang bertengger di jendela, terbang meninggalkan gedung persegi, karena terkejut mendengar suara keras itu. Mentari menyisakan semburat jingga kepada langit, lalu perlahan meninggalkannya. Awan rendah menyelimuti langit, hingga pudar warnanya. Seakan tak mau kalah, angin bertiup menerbangkan tumpukan daun yang dibereskan tadi pagi.

Derap langkah menggema lorong gedung. Tidak peduli dengan napas yang tidak teratur, aku mengencangkan langkah, ketika melihat jam dinding, tepat menunjukkan pukul enam sore. Tiba-tiba, tali sepatuku lepas, lalu tersangkut hingga aku tersungkur.

"Ah, sial," umpatku kesal. Aku memasukkan barang-barang yang keluar dari tas biruku, dengan terburu-buru. Tidak lupa, tali sepatu aku ikat sekuat mungkin, agar tidak terlepas kembali. Begitu selesai, aku melangkah dengan kecepatan yang dikurangi. Iya, aku tidak mau kebodohan itu terulang lagi.

Pintu hitam transparan sudah di depan mata, aku menarik tuas, lalu membukanya. Aku melihat sekeliling, tidak ada kendaraan lain, selain motor biruku, yang bertengger di ujung lapangan. Untuk hari ini, aku menjadi penghuni terakhir sekolah. Kukenakan helm putih dengan motif polkadot biru serta masker putih untuk menutup wajahku. Baru saja ingin menyalakan motor, tiba-tiba terdengar suara gitar melewati gendang telingaku. Aku menoleh sekeliling. Darimana asal suara tersebut? Pikirku.

Rencanaku untuk pulang ditunda. Aku berjalan mengikuti arah suara gitar. Suara itu semakin terdengar keras seiring derap langkahku. Rupanya, suara itu berasal dari taman belakang sekolah. Aku berjongkok dan bersembunyi di balik semak-semak. Perlahan aku menyibaknya dan mengintip taman belakang sekolah. Terlihat sesosok pria sedang bersenandung sembari memainkan gitar membelakangiku. Rasa penasaranku tumbuh semakin besar. Perlahan aku keluar dari tempat persembunyian dan berniat ingin memanggilnya. Namun, rencana itu batal, ketika smartphoneku bergetar, ternyata mama menelepon. Aku menjauh dari semak-semak untuk mengangkat telepon. Aku sudah bersiap untuk kena omel darinya.

"Halo, Ma." Kujawab telepon Mama dengan nada sehalus mungkin.

"Mau jadi apa kamu? Pulang sekarang! Nggak tahu waktu." Mama memarahiku.

"Iya, iya. Ini mau pulang kok. Udah dulu ya, Ma," jawabku. Aku berlari kecil, menuju motor lalu pergi meninggalkan sekolah.

Ah, siapa dia?

***

"Dit, jahat banget kamu nggak bangunin aku kemarin," kataku sebal pada keesokan harinya.

"Maksudnya?" tanya Andita, teman sebangkuku dari awal semester ganjil.

"Aku kemarin pulang hampir maghrib gara-gara nggak ada yang bangunin."

"Yee, telinga kamu tuh yang rusak. Kemarin aku sampe nyalain lagu sekeras-kerasnya di telinga kamu, biar bangun." Aku terkejut, lalu menertawakan kebodohanku. Andita menggeleng-geleng kepalanya.

"Ngomong-ngomong, Dit." Aku menggeser kursi lalu duduk di sampingnya lalu melanjutkan, "Di sekolah ini yang bisa main gitar siapa saja?"

"Gitar? Banyaklah, apalagi angkatan kita. Angga, Rama, Soleh, banyak deh!" Jawabnya lalu membuka nasi bungkus yang telah ia siapkan.

"Iya juga, sih."

"Kenapa gitu?"

"Ah, nggak. Penasaran aja," jawabku. Andita sibuk mengunyah nasi yang ada di mulutnya. Tidak lama kemudian, bel berbunyi. Andita menggerutu karena belum sempat menghabiskan makanannya. Aku mengambil buku pelajaran matematika. Ah, iya! PR matematikaku!

Gitar SenjaWhere stories live. Discover now