8. Dating?

686 58 0
                                    

Kita cuma dua orang asing yang kebetulan lagi apes, disatuin dalam ikatan yang bernama perjodohan keluarga. Selatan to Nuansa

Bukan kebetulan, tapi memang sudah takdirnya begitu. —Nuansa Tjahyadi

Nuansa menatap daun pintu berwarna putih di hadapannya dengan perasaan yang sulit dijabarkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nuansa menatap daun pintu berwarna putih di hadapannya dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Sudah lama dia tidak mengunjungi salah satu ruangan yang berada di bagian pojok lorong rumahnya ini. Bahkan dia hampir lupa kalau ada ruangan tersebut di lantai yang sama dengan kamarnya. Saat dia tengah menikmati film kesukaannya di kamar setelah pulang sekolah, salah satu ART-nya memberitahukan kalau papanya ingin bertemu di ruang kerjanya. Mau tak mau Nuansa harus mengikutinya. Karena dia sedang tidak ingin bertengkar.

Nuansa mengetuk pintu itu beberapa kali sebelum terdengar suara Bram mengizinkannya masuk. Dia disambut dengan ruangan bernuansa cokelat yang terkesan elegan itu untuk sebuah ruangan kerja. Dia berdiri tak jauh dari hadapan Bram.

"Sudah datang?" tanya Bram yang belum mengalihkan tatapannya dari berkas-berkas yang tengah dikoreksi.

Tidak ada jawaban dari Nuansa. Hal itu membuat Bram mengangkat wajahnya, menatap putri semata wayangnya itu.

"Ada apa, Pa?" tanya Nuansa akhirnya. Dia ingin sekali pergi dari sini secepatnya.

"Papa sudah atur pertemuan kamu dan Selatan, hari Sabtu ini. Supaya kalian lebih mengenal satu sama lain," ujar Bram seraya menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kerjanya.

Tanpa sadar Nuansa mengepalkan tangannya. Sorot tatapan tidak suka dia berikan pada Bram.

"Nggak cukup saya pindah di sekolah yang sama kayak Selatan? Papa pikir saya nggak tahu, Papa sengaja nempatin saya di kelas yang sama juga kayak Selatan?" Nuansa terkekeh pelan. Namun, sorot matanya masih menatap dengan tidak suka pada Bram.

Bram menghela napas. "Ini demi kebaikan kamu," tegasnya.

"Kebaikan saya yang kayak gimana lagi sih, Pa? Maksud Papa itu, kebaikan kerja sama kalian berjalan dengan lancar kali."

"Apa susahnya sih nurut sama perkataan orang tua? Toh, kamu nggak akan rugi, Nuansa." Bram mulai terlihat kesal dengan kelakuan putrinya ini.

Nuansa menggelengkan kepalanya, tak lama senyum miringnya terbentuk. Dia ingin sekali memukul apa pun untuk meredakan amarahnya saat ini. Namun dia masih menahan untuk tidak kalap di depan papanya yang mana akan menjadi panjang urusannya.

"Jadi, selama ini di mata Papa, saya nggak pernah nurut? Oke. Terserah Papa, saya muak sama semua keinginan Papa ini. Atur aja semau Papa, saya pamit. Capek, mau istirahat." Dia langsung keluar dari ruangan itu.

SELATANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang