Ah, ternyata papanya masih punya hati untuknya. Pria itu memberinya 35 persen dari seluruh harta kekayaannya, sedangkan Gara memiliki sisanya. Kinara tidak terkejut. Hal ini sudah ia duga sebelumnya. Bahkan ia juga tak berharap sama sekali akan semua ini, itu kenapa ia enggan datang kemari tapi Gara malah membawanya paksa.

Kinara masuk kamarnya begitu Pak Johan pamit pulang. Ia tengah memikirkan rencana selanjutnya. Ia ingin kembali ke tempat kerjanya. Kinara tak punya kepentingan di sini. Mungkin ia juga tak akan mengambil warisannya. Semua ini tidak berarti apa pun untuknya setelah kepergian papanya. Sebab yang ia inginkan sesungguhnya pelukan hangat papanya. Harta hanya membeli kesenangan tapi tak bisa membeli kasih sayang yang ia damba.

Namun, yang jadi pikirannya sekarang ia tidak mempunyai uang sepeser pun. Ia ingin kembali ke teman-temannya dan tidak terkurung di sini. Tapi dari mana ia memperoleh uang untuk membeli tiket pesawat. Haruskah minta pada Gara? Bagaimana kalau pria itu … "Masuk!"

Pintu terbuka lalu Bi Nah masuk, "Non Kin dipanggil Den Gara ke ruang kerjanya."

Kinara menghela napas berat, "Ya, Bi habis ini. Terima kasih, ya."

"Bibi keluar ya, Non." Kinara mengangguk, kemudian Bi Nah keluar.

“Bi ….” Ah kenapa ia lupa menanyakan tentang pengasuhnya dulu? Di mana beliau sekarang? Sebab sejak kedatangannya beberapa hari lalu ia belum melihatnya.

Ia bergegas keluar kamar saat ingat bahwa Gara memintanya bertemu. Ia akan meminjam uang pada pria itu meski harus merendahkan dirinya. Kinara mengetuk pintu ruang kerja Gara lalu masuk. Pria bermata tajam duduk di kursi belakang meja.

"Ada apa?" tanya Kinara seraya duduk di kursi hadapan Gara. Ia melipat tangan di dada. Beginilah mereka sedikit bicara itu pun hanya inti dari pembicaraan. Tidak ada kelakar ataupun guyonan, sangat berbeda ketika berhadapan dengan Vina.  

"Pakailah." Gara mendorong kartu tipis warna hitam ke hadapan Kinara. Terdapat pula kertas kecil berisi nomor pin.

Dahi Kinara menyatu. Apa dia bisa membaca pikirannya? Baru saja ia akan meminjam uang pada laki-laki itu. "Aku akan kembalikan uangmu setelah kamu mengembalikan kunci flat dan barang-barangku," ujarnya tanpa basa-basi. Ia pikir dirinya tak akan lolos dari pemeriksaan jika tak mengantungi visa tersebut. Karena itu, jelas Gara yang membawanya.

“Apa yang akan kamu lakukan dengan barang-barang itu?”

“Aku akan kembali ke sana. Aku rasa urusan di sini sudah selesai.”

Gara menatap Kinara dengan pandangan yang mampu menghancur tubuh wanita itu. “Kamu tidak akan ke mana-mana sebelum urusan ini selesai." Kali inik Kinara harus menurut padanya agar ia bisa segera bebas dari urusan hak waris ini. Ia ingin pulang dan tidak terikat apa pun yang ada di sini. Sial! Kenapa pria tua itu malah menyerahkan bagian paling besar padanya?

Kinara mengedikkan bahunya. Ia meraih kartu tipis itu lalu berdiri. "Aku tidak menginginkan semua itu kecuali barang-barang berharga mamaku saja, selebihnya kamu boleh mengambilnya. Jadi uruslah pelimpahan hak waris itu padamu. Aku akan menandatangani surat-suratnya," ucapnya kemudian meneruskan langkahnya.

Gara merentak berdiri. Tangannya mengepal kuat hingga urut-urat di lengannya tampak. Wajahnya juga merah padam seperti kepiting rebus. Netranya memancarkan binar amarah karena emosinya terus terpancing sejak perempuan itu di sini. 

Waiting For Love (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now