Bab 49; pantai, aku dan kamu (2)

412 71 19
                                    

RANU menahan napas. "Gue.."

"Hm?"
"Pengin meluk lo. Sekarang. Boleh?"
"..."

Melihat perubahan ekspresi wajah Nada karena ucapan ngawurnya - yang sebenarnya berasal dari lubuk hati yang paling dalam - Ranu buru-buru melanjutkan, sambil memaksakan tawa yang terdengar sumbang. "Bercanda, Nad. Bercanda. Mukanya santai aja kek."

Nada langsung nyengir kuda. Senyumnya hambar.

Ranu menatap Nada. Berharap gadis itu tak merasa canggung atau terbebani berada di sampingnya. Apalagi setelah kata-kata yang sebelumnya ia ucapkan. "Lo udah nggak papa sama laut?"

"Masih kenapa-kenapa."
"Nggak bisa nginjek pantai?"
"...Belum bisa."
"Berapa radius minimal dari garis pantai?"

Pertanyaan itu membuat Nada tertawa. "Lo lagi ngewawancara gue apa gimana? Hahaha. Kok gue rasanya jadi kayak korban trauma laka laut sih. Eh, emang iya ding. Hahaha."

"Gue cuma pengin tau gue bisa ngajak lo main air di pinggiran pantai apa nggak," kata Ranu, ia tersenyum tipis melihat Nada yang tertawa lepas. Nada menggumam panjang. "Kalau lo mau main air, main gih. Gue duduk sini aja." Katanya sambil menunjuk batu besar yang berada sekitar lima sampai tujuh meter dari garis pantai.

Gadis itu mendaratkan pantatnya di atas batu. Ranu mendengus pendek.

"Nggak ah, masa gue sendiri yang asyik."
"Kata siapa duduk-duduk doang nggak asyik. Asyik tau."
"Iya tapi rasanya beda."
"Di mananya?"
"Di kaki lo."

Nada mengernyit. Ranu menunjuk tepi pantai di mana ombak datang dan berlalu, bergantian tanpa henti. "Di sana, kaki lo nginjek pasir. Basah kena air. Di sini, kaki lo cuma lo lipet, udah diem."

Nada tertawa kecil.

Ranu ikut menyandarkan sebagian tubuhnya pada batu yang diduduki Nada. "Tapi nggak bakal gue paksa kok, Nad. Pantai dan laut pasti ngasih lo banyak kenangan buruk. Yang kalau gue jadi lo, gue mungkin nggak bakal seberani lo kayak sekarang. Lo masih bisa duduk di sini, lo masih bisa liat laut, ketawa, lo masih bisa bernapas baik-baik aja. Mungkin kalau gue, nyumpah nggak bakal deket-deket apalagi mau ke pantai. Menurut gue, lo itu kuat banget, Nad."

Nada melirik Ranu, tersenyum. "So, you actually know how to speak."

"I do. Just around people I feel comfortable with." Ranu menimpali, membalas senyum Nada.

Gadis itu menerawang jauh. "Udah nggak kehitung berapa kali gue digeret Mama Papa gue ke pantai. Entah dengan alasan liburan ke Bali, atau apalah. Entah berapa kali Ibraham nyuruh-nyuruh gue belajar renang dan ngomelin gue yang nggak mau nyentuh air yang sifatnya tenang atau di medium yang lebar atau dalam."

Ranu mendengarkan dengan saksama.

"Lo tau, dulu gue nggak bisa pakai kamar mandi yang ada baknya. Harus shower."
"Kenapa?"
"Ya.. serem. Gue takut."
"Sama air di bak?"
"Iya. Konyol sih. Tapi sekarang gue udah biasa aja, udah bisa make bak atau bathtub."

Ranu menatap Nada lurus. Gadis itu melirik ke arahnya. "Sekarang gue nggak separanoid itu sama air, Nu. Udah nggak kayak dulu. Gue cuma menghindar aja. Cari waktu yang tepat."

"Untuk?"
"Berenti mikir kalau laut artinya kematian Firgi."
"Pasti butuh waktu panjang."
"Nu?"
"Hm?"
"Boleh jujur nggak?"
"Soal?"
"Boleh nggak?"
"Iya, boleh."

Nada menyapukan pandangan ke arah laut - lagi. Kemudian menghirup udara dalam-dalam tanpa suara. "Gue amazed sama lo. Sama atlet renang. Sama orang-orang yang bisa tahan napas di bawah air dalam waktu yang lama."

BIANGLALA UNTUKMU [fin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang