Bagian 15 - Run Away

13 3 0
                                    

Hatiku sungguh dipenuhi rasa gelisah. Walau telah sepenuhnya menyempurnakan niat untuk melarikan diri, namun tetap saja masih ada satu-dua yang muncul menghantui. Tetapi, sekalinya kegelisahan itu timbul, aku berusaha mengenyahkanya jauh-jauh.

Kesiur angin membuat suasana semakin mencekam. Terik baskara pun tak kalah andil dalam perkara ini.

Aku kembali mengingat bagaimana gerak-gerik Reloura saat memunculkan sebuah Elnea yang bersembunyi. Aku maju selangkah dari posisi berdiriku saat ini. Tepat diujung kakiku terdapat sebuah tombol, tombol yang langsung kuyakini mempunyai hubungan dengan meksnisme kerja Elnea. Dan tanpa basa-basi, langsung saja aku memijaknya cukup keras. Beberapa detik kemudian, benar saja, Elnea itu memperlihatkan wujudnya. Setinggi lutut bagian tengahku.

"Untunglah." desisku, pernyataan rasa lega.

Dengan waspada, aku bergegas memosisikan tubuhku sebagaimana mestinya. Sebelah kaki yang bertumpu lalu kedua tangan berpegang erat pada akar dari Elnea tersebut. Setelah semua sudah siap, aku menginjak tombol itu kembali menggunakan kaki sebelahku. Amat berhati-hati.

Lalu sekejap kemudian, Elnea itu meluncur melintasi udara. Dapat kurasakan juga bahwa rambutku terombang-ambing diterpa embusan angin. Tanganku masih berpegang erat. Semakin kuat ketakutan yang kurasa, semakin kuat pula tanganku berpegangan.

Detik demi detik telah berlalu, Elnea sudah mendaratkan tubuhnya dipermukaan tanah. Dan aku masih dalam keadaan baik-baik saja. Itu sebuah keajaiban, aku menghela napas bersyukur.

Aku bersumpah tak akan pernah menaiki benda durjana itu lagi. Bayangkan, jantungku hampir meledak dibuatnya.

Sekarang yang harus kulakukan hanya semata-mata berjalan kemana pun, asal bisa menjauh dari rumah pohon itu, dan jejakku tak terlihat oleh mereka. Semoga saja.

***

Aku terus berlari, tak menentu arah. Kukira, bertemu mereka adalah awal udara segar bagiku, pada kenyataannya, hal itu tak sepenuhnya benar. Sekarang aku harus memulainya kembali.

Langit sedikit mendung, tak ada sinar matahari yang memancar.

Tiba-tiba saja aku berinisiatif untuk melirik jam tanganku, jarum jam mungilku menunjukkan pukul 10.51 AM, sementara di sini, langit pun belum benar-benar gelap. Ah, aku sadar! Pengaturan pada jam tanganku ini bertolok pada dunia asalku, bukan dunia Peri ini. Pantas saja beda, haha.

Setelah melewati banyak kerumunan Peri yang tak sedikitpun menaruh perhatiannya pada diriku yang malang ini, lagi-lagi aku kembali masuk ke dalam sebuah hutan. Aku ingat, ini hutan yang sama, yang pernah kukunjungi sebelumnya. Dunia Peri ini sempit sekali, ya.

Tapi, tentu aku harus mencari tempat yang lebih aman lagi agar jejakku tak tercium oleh Peri-Peri itu.

Dengan napas sedikit terengah-engah, aku berjalan. Saat sebuah sungai mulai tampak di depan mataku, aku berdecak kesal. Masalah, selalu itu. Tetapi tak apa, aku bisa sekalian membasuh wajahku di sana, karena seluruh kulitku saat ini mulai terasa kerut.

"Sungai yang jernih, aku akan mampir dulu di sana," gumamku pelan.

Disamping itu, aku melihat sebuah pagar yang berdiri ditepi sungai, memuat tulisan-tulisan yang tak sepenuhnya kubaca dengan benar-benar, aku mengabaikannya. Paling-paling hanya pagar yang tak sengaja tertancap lalu tertinggal. Batinku.

Kulihat dari dekat, sungai ini tak terlalu deras arusnya, situasinya juga sepi, mungkin karena terletak di tengah hutan. Airnya juga cukup jernih dan segar. Ini sungguh tempat yang perfek untuk diriku, untuk menenangkan diri.

Kakiku bertapak pada bebatuan yang menyembul dari dalam air.

Aku berjongkok, lalu dengan perasaan setenang mungkin, aku mulai mencedok air menggunakan kedua tanganku secara perlahan. Benar saja, airnya dingin dan segar. Sungguh. Lambat-lambat, aku membasuhnya ke permukaan wajahku secara keseluruhan.

Vacation On Raa (Fight For The Truth)Where stories live. Discover now