Bagian 9 - Tell The Truth

43 5 0
                                    

"Apa?" kini, aku yang mulai keheranan.

Aku sungguh penasaran. Setahuku, sekalinya Mikha serius ia tidak akan pernah main-main.

"Sebelum itu, kau harus berjanji tidak akan terkejut lalu berteriak. Kau juga harus mengecilkan volume suaramu, ya, Stiff?" ia mulai memperingatkanku.

Aku mengangguk cepat, rasanya, seluruh ototku menegang. "Ya."

"Sebenarnya, aku dan Kathe tidak pergi ke air terjun Dyswish tadi siang," katanya lirih.

"Lalu? Kalian pergi ke mana?" tanyaku yang mulai sedikit tenang.

"Kami berdua menguntitmu saat pergi ke Pohon Apel biru itu."

Ya! Kata-kata yang diungkapnya cukup membuatku bergeming seketika. Betulkah yang dia bilang barusan?

Aku memasang senyum miring. "Kau, tidak bercanda kan?"

"Aku tidak suka bercanda di saat serius, tau!" balasnya menatapku tajam. "aku mengatakan yang sebenarnya."

"Kalau begitu apa tujuan kalian menguntit perjalananku menuju Pohon Apel itu?" tanyaku lagi mulai gerah. Suasana makin serius, di tambah lagi angin malam tak kunjung henti menyentuh tubuhku.

"Itu semua atas kemauan Kathe," Mikha menundukkan kepalanya sedikit, ia tak berani menatapku. "dia yang memaksaku."

"Aku masih tidak percaya kalian melakukan itu. Oh, jadi luka pada lutut Kathe tadi sore itu..."

Kini Mikha mendongakkan pandangannya, "Yap, kau benar! Lututnya terbentur batu saat kau menoleh kebelakang secara tiba-tiba, apa kau masih ingat?"

"Ya, aku ingat, saat di pohon Arbei itu, kan? Jadi itu kalian?" di dalam hati, sebenarnya diriku tertawa lepas.

Mikha mengangguk, "Dan sialnya lagi, kau menghabiskan buah Arbei yang ada di sana. Jadi, mau tak mau kami harus mencari tanaman lain, karena saat itu aku dan Kathe sangat lapar,"

"Lantas apa kalian berhasil menemukan tanaman lain untuk di makan?" kataku tiba-tiba saat sebuah hopotesis muncul di dalam benak.

"Karena putus asa, Kathe memetik lalu memakan semacam buah yang tumbuh di samping pohon Arbei itu. Kau tidak memetiknya, kan? Kukira kau tidak melihat tanaman itu tumbuh." jelasnya santai.

"Lalu apa Kathe memakan buah itu? Apa kau juga?" ujarku menaikkan intonasi, hingga membuat Mikha menutup mulutku dengan telapak tangannya. "Sut...!" perintahnya.

"Sudah kubilang kau harus mengecilkan volume suaramu, kalau nanti Kathe mendengar, bagaimana?"

"Maaf," Aku terkekeh lesu. "omong-omong, tolong jawab pertanyaanku tadi!"

Mikha menghela napas panjang. "Ya, dia memakannya. Tetapi aku tidak, karena saat pertama kali aku melihat buah itu, bentuknya mengerikan,"

"Kau tahu, Mikh? Buah itu mengandung racun, dan aku memang sengaja untuk tidak memakannya. Pantas saja Kathe tiba-tiba panas demam." balasku yang terdengar seperti mengomeli.

"Apa?" Mikha bergeming, ia menatapku lekat-lekat. "jadi seperti itu. Aku merasa bersalah padanya."

"Mengapa kau tidak melarangnya?" tanyaku.

"Aku sungguh-sungguh tidak tahu, Stiff. Kau jangan bilang pada Kathe, Ya?" pintanya memelas.

Aku memutar bola mata malas, "Tidak akan. Untuk apa juga aku memberitahunya."

"Huh, syukurlah." Mikha menghela napas lega.

Sampai saat ini, detik ini, aku masih tak percaya Kathe rela melakukan hal itu padaku, meski motifnya belum kuketahui. Tapi senang rasanya, itu berarti ia masih menaruh rasa peduli sesama sahabatnya. Suasana sedikit mencair, belum juga perbincanganku dan Mikha berkahir, Alenna muncul keluar dari tenda dengan raut wajah lega, sudah pasti memotong perbincangan yang sedang berlangsung. Dan itu memancing Mikha untuk bertanya sesuatu padanya.

Vacation On Raa (Fight For The Truth)Where stories live. Discover now