2 : Menunggu Naga

36 1 2
                                    

Chapter 2

Ius menggelengkan kepala, menepuk-nepuk wajah, dan mengedipkan mata. Ia gemeretakkan jari-jarinya sembari mengatur napas.

Otak.

Hentikan.

Jangan sekarang.

Ada seorang wanita di hadapannya. Air mata berlinangan pada sudut keriput mata wanita itu. Dahinya berkerut-kerut, bibirnya tergigit, rahangnya menggigil, dan urat pada lehernya menegang. Sesenggukan, wanita itu melanjutkan keluhannya.

"Aku tak akan memaafkan diriku sendiri kalau benar terjadi sesuatu padanya. Membiarkannya ke luar angkasa adalah kesalahan. Oh! Kebodohanku! Aku gagal melindunginya sebagai ibu."

Ia datang bukan untuk mengajak berlomba siapa yang lebih membenci diri masing-masing. Mengapa aku seperti ini? Ius. Jernihkan pikiranmu. Idiot.

Ius menelan ludah.

"Mungkin Ibu benar. Mungkin juga Ibu salah."

"Maksudmu?"

Ius tiba-tiba dilanda keinginan untuk menikam perutnya sendiri, lalu memburai isinya keluar.

Maksudku, tak ada hubungannya antara kamu memaafkan dirimu atau tidak dengan situasi bahwa anakmu tak kembali dari Enceladus. Percuma. Membenci dirimu sendiri sia-sia. Tak membencipun juga sama sia-sia. Percayalah, Aku kenal dekat dengan sia-sia.

"Maksudku," Ius berdehem, lalu melanjutkan, "siapa yang tahu rencana langit?" Ia sempat termenung sejenak sebelum buru-buru menambahkan, "Maaf, kalau misalnya saya lancang mengasumsikan Ibu percaya rencana langit."

"Aku percaya rencana langit. Selama ini aku menggenggam imanku seerat yang kubisa." Tangan wanita itu meraih dan meremas jemari tangan kanan Ius. Tangan mereka sama-sama telah tua. Kulitnya mengeriput, menipis, mempertontonkan urat-urat yang telah letih di baliknya.

"Tapi, pada akhirnya, kepercayaan hanyalah kepercayaan." Wanita itu menundukkan kepala, menyentuhkan hidungnya yang basah ke ujung jari Ius sembari melanjutkan merengek. "Bagaimana bisa aku mengikhlaskan anakku satu-satunya? Bagaimana aku bisa tenang berserah diri pada rencana-rencana misterius? Berdiam, berharap, bahwa akan ada suatu kebaikan di akhir?"

Rencana langit yang misterius. Misteri. Bisa jadi hanyalah eufemisme atas ketidakmampuan, atau bahkan ketiadaan. Tapi rencana langitpun menganjurkan untuk berusaha. Kamu, seorang ibu, di sini sedang mencoba. Mengupayakan sesuatu. Hebat. Setidaknya kamu masih mau berusaha. Sementara aku? Aku muak berusaha.

"Aku pernah mendengar, Tuan Ius ini memiliki koneksi-koneksi strategis."

Itu dahulu, ketika musik dan puisiku masih laku. Mungkin sekarang kontak-kontak itu akan berpura tak mengenalku lagi.

"Bu." Ius beranjak turun dari sofa. Ia menyimpuhkan diri di lantai pelan-pelan, sebelah tangannya membalas remasan pada jemarinya, sementara tangan lainnya mengusap-usap punggung wanita itu. "Aku tidak tahu apakah mereka dapat membantu Ibu. Tapi aku akan hubungi mereka. Aku sarankan Ibu untuk istirahat. Ini sudah larut malam."

Larut malam?

Ini menjelang pagi!

Wanita ini datang pukul tiga pagi saat aku mulai berhasil membujuk kantuk menyelimutiku. Ia datang dengan kapsul selam kunonya, jatuh tepat menghajar jendela kamarku. Percuma aku membayar hunian pensiun mahal-mahal di dasar laut kalau orang-orang masih mampu temuiku. Percuma pil-pil tidur itu kutenggak. Ya, mungkin aku dapat memejam mata nanti, tapi aku tak akan mampu tidur lagi setelah ini.

Sengketa Angkasa ManusiaWhere stories live. Discover now