0 : Selamat Tinggal Enceladus

103 2 6
                                    

Orang-orang bumi memanggil kami kembali. Ada kahar katanya. Seluruh ekspedisi luar angkasa dibatalkan. Awak-awaknya diperintah pulang. Perkara apa gerangan? Detailnya tidak diumumkan.

Tak kuasa membuang muka dari pesona Saturnus, di lorong aku meluncur dengan perlahan sembari menengadah. Hamparan bola gas raksasa cokelat itu memenuhi langit. Lapis-lapis cincinnya tersebar tipis, membelahnya jadi dua. Amuk-amuk badai di permukaannya terlihat menakjubkan; mengingatkanku pada sentuhan turbulensi lukisan-lukisan Van Gogh.

Kalung platina di leherku bergetar. Kuusap cincin penerima pada kelingkingku. Suara Koordinator Stasiun Ruang Angkasa Enceladus menyergap mencekikku. "Kapal-kapal telah dijadwalkan oleh pusat untuk berangkat pulang tepat waktu. Tidak akan ada kompromi. Segera melapor ke terminal."

Aku bimbang. Sejenak aku dirundung kegelisahan akan ketertinggalan. Tapi aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Bahkan cenderung menjadikannya pelarian, atau bahkan sumber kekuatan.

Tidak semua sistem akan dimatikan. Aku bertaruh akan ada proyek-proyek penelitian jangka panjang yang tetap berjalan. Dalam rapat terakhir, para koordinator telah mengutarakan prediksi dan harapan, bahwa kahar apapun yang terjadi di bumi, masih akan memungkinkan untuk menjalankan kembali misi-misi di Enceladus ini. Logistik-logistik yang tersimpanpun tidak akan dibawa pulang semua, biayanya akan lebih besar daripada manfaaatnya.

Aku akan aman menetap di sini. Tapi aku rasa tidak bijak jika aku tunjukkan niatku secara gegabah.

"Siap! Segera ke sana." Jawabku sembari bergegas melesat di lorong.

Dari balik dinding tembus pandang stasiun ini terlihat semburan es dari permukaan Enceladus. Semburan es itu menodai cokelatnya langit dengan kemilaunya. Es-es itu tersembur dari samudera bawah laut yang bersentuhan dengan panasnya lapis bebatuan. Reaksi pada sumber semburan itu diduga dapat menjadi awal dari evolusi suatu organisme kehidupan. Tapi belum juga dua hari stasiun ruang angkasa ini mulai berfungsi, kami sudah di panggil kembali ke bumi.

Sebagian unsur dari penelitian memang bisa diotomatisasi, tapi stasiun ini dirancang untuk memfasilitasi campur tangan manusia. Pulang dengan tangan kosong? Tidak. Aku malu menatap wajah adikku. Aku akan menetap memaksimalkan fasilitas yang ada.

Tapi kau bukanlah ilmuwan. Kau hanyalah awak bagian umum. Kau cuma perwira perlengkapan dan instrumentasi. Kau tidak terlatih dalam ilmu penelitian. Kau hanya pengoperasi alat-alat.

Mungkin itu yang akan disemprot adikku ke wajahku jika ia tahu rencanaku. Ia benar, aku bukan ilmuwan, tapi bukan berarti aku sama sekali tidak berilmu. Daniel Kahneman bukanlah seorang ekonom, ia adalah psikolog, tapi dia berhasil meraih Nobel di bidang ekonomi.

Kau selalu sok hebat. Sok hebat menampung tanggung jawab di luar kuasa dan kewenanganmu. Itu yang membuatmu selalu terpuruk dalam kegelapan. Kau gemar menggali kuburan sendiri.

Segala hal memiliki risiko. Aku tak segan jatuh ke dalam kubur jika ada kesempatan untuk terbang. Jikapun aku terkubur, aku akan bangkit menerobos permukaan dan tumbuh subur.

Kenapa Kakak begitu tergesa-gesa mengejar sesuatu yang diluar jangkauan? Kenapa Kakak tidak tahu diri akan batas-batas kemampuan sendiri? Kenapa Kakak begitu takut untuk menerima siapa diri Kakak sesungguhnya? Kakak sedang lari dari kejaran apa sebenarnya?

Kegelapan datang tanpa aba-aba; penerangan di seluruh sudut lorong padam. Aku menghentikan lamunanku dan menelan ludah. Terdengar dengungan melengking. Transparansi dinding stasiun hilang, berubah jadi hitam. Kemudian terjadi guncangan keras. Aku terpelanting, menabrak dan tersangkut pintu otomatis yang terbuka terlalu lambat. Sepasang tangan menangkapku, membantuku memperbaiki orientasi diri di dalam kegelapan.

Sengketa Angkasa ManusiaWhere stories live. Discover now