18: Ben, Arman dan Secercah Titik Terang

21.8K 2.3K 205
                                    


Di luar dugaan, gue dapet kunjungan negara dari Ben dan Arman. Dua cowok itu—yang belakangan emang kayak menghilang ditelan bumi karena keduanya lagi ada tugas KKN di luar kota—langsung menunjukkan cengiran serta senyuman mereka yang khas begitu gue membuka pintu depan yang sejak tadi diketuk-ketuk. Maka dengan segera, gue lebarkan kedua tangan gue buat merangkul mereka secara bro to bro. Nggak nyangka, rupanya kangen juga gue sama cecunguk-cecunguk sialan dua itu.

"Buset lo, bro! Perasaan baru kemarenan lo nyuntik Kakanya, eh udah jadi keluarga sakinah aja!"

Kalimat kurang ajar itu, Ben yang mengucapnya. Yang kalau gue lihat-lihat kayaknya nggak melepas rangkulannya di bahu Arman yang hanya tertawa-tawa. Gue emang sempat mikir sih, kalau mereka berdua punya hubungan tersembunyi yang sengaja mereka sembunyikan dari gue. Tapi berhubung mereka berdua bahkan nggak pernah kelihatan punya tanda-tanda sebagai homo, maka gue patahkan saja dugaan tersebut.

"Ya namanya juga musibah, Bang," tukas gue pura-pura lesu. "Kalau udah kelar dapet enak, ya tiba waktunya buat dapet anak."

Atas apa yang gue katakan, dua cecunguk itu lantas tertawa ngakak tanpa bisa direm. Beginilah kalau kami bertiga berkumpul lagi setelah sekian lama berpisah. Kebiasaan Ben sama Arman yang suka ketawa lepas—padahal apa yang gue ucapin cuma lelucon garing—emang kadang bikin gue berprasangka bahwa mungkin emang ada yang salah sama otak mereka.

Gue mempersilakan mereka berdua untuk duduk di sofa ruang tamu gue yang merah menyala. Seraya meminta Kaka untuk menyiapkan minuman buat dua tamu tak diundang tersebut, gue lantas turut mengambil duduk dan mulai membuka percakapan. "Jadi, ada apa nih tiba-tiba kalian berdua nyamperin gue sampe ke rumah begini? Apa kalian mau ngasih gue oleh-oleh dari Balikpapan?"

Yang gue ajak ngomong, masih saja tertawa-tawa gaje padahal gue udah sama sekali nggak minat menertawakan lelucon yang tadi. Jadi, gue anggap aja mereka punya hal lain yang membuatnya nggak bisa menghentikan tawa, entahlah. "Kita cuma mau memastikan aja kalau lo masih baik-baik aja, Glenn," kata Ben setelah akhirnya bisa menguasai diri. "Gue tahu taruhan terakhir yang kita bikin pasti bikin lo nyaris gila sebab ending-nya bakal jadi kayak gini. Makanya kami ke sini sebab gue sama Arman sempat khawatir lo bakal frustrasi dan mungkin saja kepikiran buat ngelakuin tindakan suicidal."

Atas apa yang diucapkan cowok di depan gue itu, gue hanya menggeleng pelan seraya mengulum senyum kecut selebar mungkin. "Biarpun gue ini nggak jago soal materi kuliah di kampus, otak gue nggak sesempit itu kok, bro."

Kaka datang dan menyajikan tiga cangkir teh Earl Grey yang kapan hari dikasih sama Tante Laksmi. Yang oleh Arman dan Ben, langsung disambut dengan ucapan terima kasih serta senyum kikuk yang mengembang.

"—gue emang sempat down dan mikir bahwa gue lagi kena kutukan dari Tuhan. Tapi karena kemudian gue sadar bahwa emang semuanya terjadi karena adanya keinginan dalam diri gue, gue akhirnya bisa menerimanya. Semua ini terjadi bukan tanpa sebab."

Sebagai jawaban, baik Ben pun Arman hanya mengangguk mengerti seraya menyesap cangkir teh yang ada di hadapan mereka. "Syukurlah, Glenn." Lagi, Ben memutuskan untuk berkata. "Tapi biar bagaimana pun, kami tetap ingin minta maaf atas taruhan itu."

"Lo berdua ataupun taruhan yang kita lakukan, emang nggak sepenuhnya menjadi dalang atas ini semua. So please don't apologize."

Maka atas kalimat terakhir yang gue bilang itu, mereka berdua lantas mengangguk seraya menghela napas lega. Biar bagaimana pun, semua ini emang udah jadi takdir gue, makanya gue nggak pengen nyalahin siapapun sebab kelak gue hanya bakal jadi manusia yang nggak pandai bersyukur.

[MPREG#2] TARUHAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang