15: Perlahan Mendua

22.8K 2.3K 841
                                    



Semenjak ketemu lagi dengan Rasi, hubungan gue sama cewek itu kayak tersambung kembali. Semenjak saling tahu nomor dan menyimpannya ke dalam kontak telepon masing-masing, kami emang kayak kembali akrab gitu mengirimkan pesan-pesan candaan dan nostalgia lewat aplikasi chat. Pada kenyataannya, Rasi memang tak pernah berubah meski lima tahun waktu telah membuat gadis itu berpisah jauh dari lelaki yang pernah dimilikinya ini. Cewek itu tetaplah menjadi sosok yang ramah, supel, friendly serta menyebalkan dalam waktu yang bersamaan. Ketika gue harus terpingkal karena chat-chat konyolnya atau malah menahan marah karena pesan menyebalkan yang dia kirim, gue selalu tahu, bahwa sosoknya yang kini kembali bisa gue lihat raganya, masihlah sama dengan sosok Rasi yang dulu gue cintai.

"Kak Glenn, kopinya kok nggak diminum, nanti dingin, lho?"

Sama kayak apa yang gue rasain hari ini. Seperti biasa, Minggu pagi selalu menjadi waktu yang tepat untuk membelenggu diri dengan tontonan-tontonan favorit gue di Cartoon Network ditemani secangkir kopi atau isu-isu terbaru dari situs berita online. Tadinya, tujuan gue duduk di sofa ruang tengah ini adalah buat ngelakuin semua yang gue sebutin itu, sebelum akhirnya sebuah chat dari Rasi masuk dan ngebuat gue melupakan cangkir kopi dan camilan yang dibuatkan oleh Kaka.

"Bentar, Ka. Temen Kakak lagi bawel di grup, nih," kata gue. Alih-alih gue beneran ngebalesin chat di grup kampus yang biasa ngebahas tugas, gue malah ngebalesin chat-chat-nya Rasi. "Kalau nggak diladenin, nanti mereka bakal ngambek dan diemin aku kalau ngumpul."

Sebagai jawaban dari apa yang gue katakan itu, Kaka hanya menghela napas singkat sebelum kembali menyibukkan diri dengan masakannya di dapur. Tadi pas bangun pagi, itu cowok emang bersikeras buat nyiapin sarapan meski asisten rumah tangga yang dikirim Mami buat kami udah bilang kalau beliau yang akan menyiapkan. Berhubung gue sendiri pun juga nggak bisa ngelarang kalau Kaka udah punya niatan, makanya gue ngebiarin cowok tersebut lantas bereksperimen dengan bahan-bahan dan perlatan dapur yang udah diisi lengkap sama Mami itu.

"Emangnya lagi pada bahas apa sih sampai Kakak senyum-senyum sendiri kayak gitu?" Seolah masih penasaran atas apa yang ngebikin gue tiba-tiba senyum-senyum semringah di depan handphone kayak begini, Kaka kembali bertanya. Kebetulan jarak dapur sama ruang santai yang kini gue tempatin emang hanya terpaut penyekat kayu yang berfungsi sebagai connecting door, makanya gue masih bisa denger apa yang dikatakan sama cowok itu.

"Biasa, Ka. Lagi pada ngegosipin anak baru di Fakultas Ekonomi yang katanya pemain FTV itu, loh," jawab gue acuh. Bohong buat kedua kalinya. "Temen-temen Kakak kan suka banget bikin gosip kalau ada anak baru di kampus. Makanya Kakak iseng ikutin aja buat seru-seruan."

Dan usai jawaban yang gue katakan itu, rupanya Kaka memilih buat nggak memberikan jawaban. Yang terdengar di detik berikutnya hanyalah suara pisau yang beradu dengan papan talenan serta bunyi minyak panas yang dimasuki gorengan. Untungnya ada Bi Tira—asisten rumah tangga yang gue maksud tadi—yang ngedampingi Kaka di dapur, sehingga gue nggak perlu takut Kaka bakal ngebakar rumah ini dengan kompornya. Biarpun Kaka bilang dia bisa masak, tetep aja kan kemungkinan kalau dia ceroboh dan malah menghancurkan dapur harus tetep gue pikirkan, bukan?

Seraya menekan remote televisi untuk mengganti saluran, gue memutuskan untuk kembali berkutat dengan layar ponsel di hadapan gue. Pada layar benda tersebut, sudah tertampil lagi balasan dari pesan terakhir yang gue kirimkan kepada Rasi. Gue tersenyum sejenak, sebelum dengan lihat menarikan jemari gue pada tombol-tombol imajiner di layar.

Glenn Alvaro: Hahaha. You know me so well, Ras. Dari dulu, aku emang nggak pernah suka sama yang namanya orang bawel. Makanya kadang aku suka sebel sama si Tere yang cerewetnya minta ampun itu.☻

[MPREG#2] TARUHAN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang