4. Reason

4.5K 434 20
                                    

Sometime I question the true purpose of living. Waking up every morning, dressing up and putting on make up. What's for? In the end, all people will be gone, together with the memories.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering hinggap di kepalaku saat aku terbaring menatap langit-langit kamar tidurku. Mungkin pikiran-pikiran semacam itu baru muncul saat seseorang terlalu lelah. Setelah menghabiskan Jumat malam menyelesaikan rentetan handover dari Halim, aku baru mulai terlelap pukul tiga pagi. Rencana tidur seharianku pupus karena panggilan Nina tepat saat jam baru menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Aku menyesali keputusanku mengiyakan ajakan Nina untuk makan siang. Ia bilang ada hal penting yang ingin di abahas bersamaku. Aku mengutuki diriku sendiri yang masih sama seperti Diana yang dulu, yang enggan mengatakan tidak kepada ajakan orang-orang terdekatku. Dengan denyut-denyutan kecil di kepala, aku memaksa diri masuk ke dalam toilet dan mulai membenahi diriku. Karena hanya makan siang dengan Nina maka kuputuskan hanya mengenakan make up tipis dan mengikat rambutku ke atas seadanya. Tekadku sudah bulat, sepenting apa pun hal yang akan disampaikan Nina, aku hanya akan memberikan satu jam waktuku di sana.

Setengah jam kemudian, aku sampai di restoran yang disebutkan Nina dalam pesan Whatsapp. Langkahku  tertahan melihat sosok yang melambaikan tangan menyambut kehadiranku. Dalam balutan T-shirt abu-abu dan celana jeans hitam, Liam tersenyum lebar dengan gestur mengajakku bergabung bersamanya. Ke mana pun aku memandang, aku tidak menemukan sosok Nina. Kuharap ini tidak seperti yang kupikirkan. Dengan cepat, jari-jariku menekan tombol panggil saat menemukan nama Nina di layar ponselku. 

"Lo di mana?" seruku saat suara Nina terdengar.

"Lo udah sampe? Ada Liam, kan di sana?"

Aku tidak menyukai arah pembicaraan ini.

"Lo apa-apaan sih, Nin?"

"Sorry, Diana. Si Liam bilang dia mau ketemu lo, ada yang penting dan dia baru mau bantu soal pemotretan anak gue kalau gue bantuin dia."

"Ya, nggak gini juga caranya," ucapku frustrasi.

"Sorry.... sorry.... please bantuin gue kali ini. Dia cuma minta ketemu lo doang, kok."

Dengan seenaknya saja Nina membohongiku. Dia tidak tahu bahwa setelah apa yang telah terjadi antara aku dan Liam, kami tidak bisa bertemu begitu saja. 

Malas berdebat lebih panjang, telepon kumatikan dengan kesal. Niatku untuk segera pergi dari tempat itu tertahan dengan Liam yang entah sejak kapan sudah berdiri di hadapanku. Lagi-lagi ia tersenyum saat pandangan kami bertemu. Dia pikir aku senang dibohongi seperti ini?

"What the f*ck do you want from me?" umpatku kesal.

Tidak bisakah si idiot di depanku ini mengerti bahwa panggilan dan pesannya selama seminggu terakhir tidak terjawab karena aku tidak mau lagi berurusan dengannya?

"Waow... waow... calm down, Di. Are you in a bad mood or something?"

"Cukup basa-basinya. Jadi kamu mau apa?"

"Bisa kita ngobrol sambil duduk?"

"Your lies ruined my weekend. I am leaving soon," jawabku sambil melipat tangan di depan dada.

"Sorry, if I somehow ruined your weekend, but.... Hmm... there is something that I want to return to you and I put in on the table. Right there," jelasnya sambil menunjuk ke arah meja dari tempat ia berasal.

"Aku tunggu di sini," jawabku lagi.

Liam memandangku lama sebelum akhirnya berlari masuk ke dalam restoran dan meraih sesuatu di meja yang ia duduk tadi. Denyut-denyut di kepalaku terasa semakin intens. Kini rasanya sekelilingku mulai berputar. Damn. Seharusnya aku tidak melewatkan sarapanku jika tahu akan terjebak dalam situasi seperti ini.  Saat Liam mendekat, dua kantung belanjaan berbahan kertas berlogokan toko ternama diulurkannya kepadaku. Sekilas kulihat isinya adalah pakaian yang tidak kukenali. Saat melihat price tag yang masih terpasang, keduanya jelas baru saja dibeli.

"What' are these?"

"I remember I ruined your dress, so ...."

"F*ck you," umpatku sambil mendorong kedua bungkusan itu ke hadapan Liam sebelum aku berbalik dan berderap meninggalkannya.

"Di ..... sorry, if this offends you. Aku cuma mau ketemu kamu."

Aku mempercepat langkah menuju lobby. Memangnya dia pikir aku wanita seperti apa? Apa perlu ia mengungkit apa yang kami lakukan dengan segamblang itu? Sial! Tidak peduli secepat aku melangkah, Liam tidak juga menyerah menyamai langkahku. 

"We need to talk, Di."

"Leave me alone, asshole!"

"I need your help!"

Pengakuan itu membuat langkahku terhenti. Dengan napas yang memburu di sampingku, Liam menatapku lekat-lekat. 

"I really... really... need your help, Di," ulangnya lagi.

Dari semua kemungkinan terburuk yang ada di kepalaku, tidak pernah tebesit bahwa alasan Liam bersikeras menemuiku adalah karena ia membutuhkan bantuanku. Liam sepertinya mengerti bahwa pengakuannya barusan berhasil memancing ketertarikanku.  Sial! Aku seharusnya tidak peduli.

"Just give me 30 minutes to explain," pintanya lagi.

Aku tidak seharusnya membuang-buang waktu. Untuk apa aku memedulikan apa yang akan ia jelaskan. Aku tidak membutuhkan apa pun darinya dan selain malam itu, kami tidak lebih dari teman lama yang tidak memiliki hubungan apapun. Ingatan tentang kegilaan malam itu membuat rasa sakit di kepalaku terasa semakin menyiksa. Jelas pilihan terbaikku adalah kembali ke rumah dan melupakan apa yang terjadi sekarang.

"Diana?"

Wajah yang beberapa bulan yang lalu selalu mengisi mimpi-mimpi burukku hadir kembali. Mungkinkah ini halusinasi akibat sakit yang menyerang kepalaku sekarang? Namun jika ya, tidak mungkin ia bisa mendekat dan suaranya terasa begitu nyata. Diserang rasa panik, aku memandang ke berbagai arah mencari jalan untuk berlari dan pandanganku terhenti pada Liam yang berada tepat di belakangku. 

Tanpa berpikir panjang, aku mendekat ke arah Liam kemudian menggenggam tangannya erat-erat. Di sampingku Liam tampak terkejut tapi aku menarik genggaman tanganku padanya, mengajaknya berjalan menjauh dari mimpi terburukku. Aku pasti akan menyesalinya nanti tapi aku tidak punya pilihan yang lebih baik sekarang.

"Diana ..."

Panggilan itu terdengar lagi. Aku mempercepat langkah dan bersyukur Liam seolah mengerti dan dengan cekatan menyamai langkahku. Kami bergandengan menyusuri pertokoan demi pertokoan. Saat yakin bahwa sosok dalam mimpi burukku tidak lagi ada, aku melepaskan genggaman tanganku. Tidak peduli dengan apa yang dipikirkan Liam sekarang, aku hanya ingin pulang dan membenamkan diriku dalam tumpukan bantal hingga esok hari.

"I guess you owe me a favor right now?"

Tentu saja si Berengsek satu ini tidak akan melewatkan hal ini begitu saja.

"Whatever. I am going home," jawabku sambil berjalan menjauh.

Langkahku tertahan saat Liam menggenggam erat kembali tanganku.

"Sebenarnya kamu mau apa dari aku?"

"Setelah apa yang terjadi barusan, kayaknya lebih pas dibilang kita saling bantu. Masalah kita sama."

"Maksudnya?"

"I'll explain while we are having our lunch."

Itu bukan lagi pertanyaan namun pernyataan. Kini aku harus menanggung akibat dari keputusan gegabah yang kuambil barusan. 

**

Di Bawah Langit KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang