1. Pertemuan Dengan Masa Lalu

15K 951 59
                                    

Aku benci Diana yang dulu.

Kupikir dengan berada di tengah orang-orang dari masa laluku seperti sekarang akan membuat aku merasa sedikit lebih baik. Kupikir aku bisa merasa bangga karena sudah berhasil menunjukkan dengan jelas perubahan diriku.

F*ck . I am totally wrong!

Aku tidak bisa membohongi diriku semudah aku membohongi orang-orang yang sejak tadi menyambutku dengan tatapan penuh keterkejutan dan segudang pertanyaan. Sekuat apa pun aku memungkirinya, menghabiskan malam dalam balutan pakaian tidur sambil menonton televisi terdengar jauh lebih menyenangkan dibandingkan keharusan berada di pub yang penuh kekacauan tempat aku berada sekarang.

Jika bukan karena permintaan khusus dari Nina, teman dekatku sekaligus penyelenggara acara reunian SMA yang baru saja kuhadiri, mustahil aku mau repot-repot memoles diri habis-habisan untuk tampil malam ini. 

Acara utama sudah berakhir satu jam yang lalu di sebuah restoran pada lantai dasar hotel ini. Saat kebanyakan dari yang sudah berkeluarga memutuskan untuk pulang dan kembali kepada kehidupan mereka, sebuah undangan spontan after party diserukan oleh sekelompok teman yang masih berstatus lajang. Separuh dari kami menyambut hangat ide tersebut, termasuk aku di dalamnya.

Aku sebenarnya sudah ingin pulang namun setelah menimang-nimang konsistensiku dalam menunjukkan bahwa aku bukan Diana yang dulu, si lajang membosankan, membuatku menyanggupi ajakan yang kusesali habis-habisan.

Satu jam sudah berlalu setelah aku mengambil keputusan terbodohku hari ini. Sekeras apapun aku berusaha, sulit untukku menikmati segala sesuatu yang kuanggap sebagai sebuah kekacauan. Suara musik yang berdentum keras, orang-orang yang berhamburan dan bergerak-gerak tidak tentu arah, serta minuman –minuman yang selalu terasa terlalu pahit di lidah. Di atas semua itu, aku juga harus berulang kali menjauh dari serangan semburan asap rokok untuk memberikan paru-paruku sedikit udara segar.

Berada di tempat ini hanya menekankan bagaimana semua konsep pemberontakan tidak pernah cocok dengan diriku.

Musik terdengar semakin kencang. Gelas-gelas minuman diacungkan ke udara. Seisi ruangan ini seperti terfokus untuk menyambut sesuatu yang spesial. Saat berbalik, aku akhirnya mengerti mengapa dunia seolah patut diam sejenak untuk menandai kedatangannya. 

Liam Samudra. Tidak pernah ada yang biasa dari kemunculannya dalam kesempatan apapun. Selalu ada senyuman terlukis lebar di wajah pria itu. Ada dua lesung pipit yang membuat wajahnya sulit untuk dilupakan begitu saja. Melihat Liam yang menyambut high five teman-teman kami dengan penuh semangat, sepuluh tahun rasanya tidak lebih dari sebatas angka.

Selalu ada orang-orang seperti Liam yang tidak pernah berubah. Hidup tampak selalu bahagia dan begitu bebas tanpa batas. Namun ada juga orang seperti diriku, yang selalu dituntut untuk menjadi sempurna tanpa ruang untuk sesuatu yang dinamakan celah maupun kesalahan.

Sama seperti sepuluh tahun yang lalu, Diana selalu menjadi Diana, gadis yang selalu menikmati hiruk pikuk dari kejauhan dan berandai-andai jika saja ia bisa lebih bebas, mungkin ia akan lebih bahagia. Namun saat kesempatan itu datang, aku sendiri tidak mengerti mengapa aku tidak menikmati hiruk pikuk yang tengah menyelimutiku sekarang.

"Diana!"

Damn! Ini bukan saat yang tepat untuk rasa sendu yang kuciptakan sendiri.     

Aku mengerjap beberapa kali, menyadari bahwa kemunculan Liam berhasil membuatku berpikir tidak terkendali sampai melewatkan apa yang ditanyakan Nina.

"Sorry. Kenapa?" tanyaku sambil menegakkan punggung di atas kursi tinggi. 

Ini alasan kenapa duduk  di sebuah meja panjang menghadap tempat kerja seorang barista bukanlah ide yang bagus. Botol-botol minuman tersusun penuh warna pada dinding di depan kami. Gelas berisi cairan yang sama terus saja dihidangkan kepada Nina, membuatnya tanpa henti berbicara tentang kecurigaan pada suami yang berselingkuh di belakangannya satu jam belakangan.

Di Bawah Langit KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang