8. Win Win

435 62 1
                                    

Liam: Sabtu ini cafe lagi atau mau coba ke tempat lain?

Pesan itu masuk dua jam lalu. Di tengah kesibukanku menyelesaikan presentasi yang lagi-lagi diminta Halim secara mendadak. Aku tidak suka menghabiskan waktu di luar rumah saat akhir pekan. Jika boleh memilih, aku hanya ingin berada di rumah sepanjang hari tanpa keharusan bertemu dengan siapa pun. Belum lagi mengingat laporan divisi yang harus dikumpulkan hari Senin. Berpergian akhir pekan khususnya minggu ini bukanlah pilihan yang bijak.

Dering teleponku berbunyi lagi dan extension Halim muncul di sana. Sudah memberikan pekerjaan di hari Jumat seperti ini dan sekarang ia memaksaku untuk mengerjakannya secepat yang kubisa. Saat mengalihkan pandangan, terlihat Lisa sedang sibuk dengan pelurus rambut di tangannya. Sial! Jika bukan karena promosi yang dijanjikan Halim, aku tidak akan sudi bekerja sekeras ini. Sedikit lagi. Aku hanya perlu menahannya sedikit lagi dan saat aku dipindahkan nanti, aku tidak perlu lagi melihat dua orang ini melibatkanku dalam hubungan bodoh mereka.

Jika Lisa dan Halim saja bisa menghabiskan waktu bersenang-senang, mengapa aku harus ikut memusingkan pekerjaan di saat akhir pekan. Ini tanggung jawab tim. Jika mereka saja tidak peduli, mengapa aku yang harus peduli. Sekali lagi, aku mengingatkan diriku bahwa aku tidak boleh menyerah. Aku bukan Diana yang dulu. Diana yang membosankan dan menghabiskan waktu dengan kenangan-kenangan sampah dengan mengurung diri di dalam rumah.

Diana: Terserah. Kamu pilih saja tempatnya.

Tidak lama saat pesan itu terkirim, balasan dari Liam muncul kembali.

Liam: Kujemput jam 8 kalau gitu. Pakai baju yang nyaman dan sepatu olahraga.

Sh*t. Kuharap aku tidak melakukan sesuatu yang akan kusesali kemudian.

***

Mungkin ada sesuatu tentang Liam dan hujan karena jika dipikir-pikir hujan selalu datang bersamaan dengan kehadirannya. Sejak tadi langit di atas kami tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa rintiknya akan segera berhenti. Liam, yang kali ini datang membawa mobil, akhirnya menghabiskan waktu duduk di ruang tamuku bersama dengan segelas kopi yang tidak mengepul lagi. Kurasa ini cara alam semesta mengabulkan permintaanku untuk menghabiskan waktu di rumah. Meskipun kini dengan adanya seseorang di ruang pribadiku. Kalau bukan karena hukan, aku tidak akan pernah membiarkan sosok satu itu masuk dan menginvasi privacyku.

Perhatian Liam sejak tadi terarah pada layar kecil kamera dalam genggamannya. Menangkap basah aku tengah memandanginya, ia kini mengarahkan benda itu kepadaku disertai bunyi klik tidak lama setelahnya. Senyum merekah di wajahnya jelas menandakan ia puas dengan hasil jepretannya.

"Pasti wajahku terlihat aneh ya?" tanyaku sambil mendekat ke arahnya berusaha melihat apa yang dipandanginya.

Liam bergeleng, kemudian mengangkat kamera dan memperlihat layar kecil kepadaku. Ekspresiku terlihat seperti sedang melamun dengan rambut cepol yang tidak beranturan. Aku kelihatan berantakan. Usahaku untuk meraih kamera itu gagal saat Liam menarik benda itu dan mendekapnya cepat.

"Hapus! Aku keliatan jelek."

"No... no... you look cute."

"Cute? Memangnya aku anak kemarin sore?"

"Jangan."

Liam kini mengangkat benda itu ke atas dengan tangan kanannya.

"Hapus, nggak?!" sahutku sambil  meraih kamera dari genggaman Liam.

Liam kembali mengencangkan pegangannya. Dalam sekejap tubuhku mendadak oleng hingga akhirnya ambruk ke samping dan menimpa Liam yang tengah dalam posisi duduk. Aroma tembakau Liam tercium pekat saat tubuhku mendarat di atasnya. Samar-sama aku juga mencium aroma mint yang kuyakini berasal dari rambutnya.

Di Bawah Langit KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang