10. Setengah

459 67 2
                                    

Tidak pernah terbesit dalam bayanganku bahwa hari seperti ini akan datang. Hari di mana aku sibuk menyeduh kopi untuk Liam Samudera yang tengah berkeliling ruang tamuku dan memandangi setiap sudut yang ada dengan seksama.

"Kamu tinggal di sini udah berapa lama?"

Suara Liam terdengar lagi dengan latar deras hujan yang tidak kunjung berhenti sejak tadi pagi.

"Aku ngontrak di sini mungkin hampir 4 tahun. Nggak lama setelah pindah kerja di tempat yang sekarang."

"Kenapa di sini? Lokasinya mayan jauh dari kantor kamu, kan?"

"Aku suka tinggal di perumahan, jadi nggak terlalu berisik."

"Ternyata kamu masih kurang suka keramaian, Di,"

"Kalau bukan karena kerjaan, mungkin aku nggak akan tinggal di Jakarta."

"Oh ya? Memangnya orang tuamu di mana?"

Aku menghentikan jemariku yang tengah mengaduk kopi di hadapanku. Pertanyaan yang paling kuhindari akhirnya terdengar lagi.

"Papaku ada di Bandung dan Mamaku di Surabaya," jawabku.

"Oh ... divorced?" tanya Liam terdengar santai.

"Iya," jawabku lagi.

Aku benci saat orang lain mulai mempertanyakan tentang keluargaku. Menceritakan apa yang terjadi bukanlah sesuatu yang ingin kulakukan berulang-ulang. Belum lagi pertanyaan demi pertanyaan akan datang silih berganti.

"It sucks, isn't it? Orang tuaku divorced dari aku SD."

Ah. aku hampir saja melupakan hal itu. Sejak SMA Liam memang dikenal sebagai anak dengan orang tua yang bercerai. Hal itu juga yang membuat banyak dari temen sekelas kami memaklumi kepribadian Liam yang begitu bebas dan banyak melanggar aturan. Aku sendiri hampir melupakan salah satu alasan aku sempat menjauhinya karena label itu. Lihat aku sekarang. Tidak ada bedanya dengan dirinya sekarang. Trouble kid always ends up with trouble kid.

"Hujannya sepertinya nggak akan berhenti," ujar Liam tidak lama setelah melihat keluar jendela.

Setidaknya Liam tidak seperti kebanyakan orang yang mempertanyakan lebih lanjut tentang kedua orang tuaku. Tentunya ia mengerti bagaimana tidak menyenangkannya memgungkit kenangan masa lalu.

"Setiap ada kamu pasti hujan," seruku sambil mengambil tempat duduk di sampingnya dan meletakkan dua gelas kopi yang merupakan ronde kedua kami.

"Aku baru mau bilang hal yang sama soal kamu," serunya cepat.

"Ya nggak apa-apa si jadi aku bisa lamaan di sini ... untung kamu udah jinak dan aku nggak disuruh nunggu lagi di depan," lanjutnya sambil memincingkan kedua matanya.

"Kamu masih dendam? Siapa suru datang tanpa diundang."

"Niatku baik loh, buat anter dompet."

"Hmmm... tapi tetep aja. It's kind of creepy," seruku.

Liam kini tertawa kecil.

"Iya ada benarnya juga sih ... tapi kamu suka hujan?"

Pertanyaan random lagi dari Liam. Sejak pagi tadi Liam terus menerus melemparkan pertanyaan-pertanyaan basa basi seperti apa yang kulakukan setiap akhir pekan, makanan kesukaanku, sarapan yang bisa kumakan. Namun tidak bisa kupungkiri membuatku berpikir. Sama seperti ia menanyakan tentang hujan sekarang. Hujan? Dulu aku menyukainya tapi sekarang ... lebih baik aku melupakan kecintaanku pada hujan berserta kenangan yang datang bersamanya.

Aku bergeleng perlahan.

"Kenapa? Bukannya hujan itu terasa romantis?"

Kini giliran aku yang tertawa.

Di Bawah Langit KelabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang