Losing

44 2 0
                                    


Aku tidak merasa ada yang berbeda hari ini. Sekalipun kemarin aku bertengkar dahsyat dengan orang tuaku, tapi air mataku sudah kering ketika tiba di sekolah. Memang seharusnya begitu, dan sengaja ku-setting seperti itu. Mereka tidak boleh tahu kalau semalam hidungku memerah dan mataku sempat sembab. Setidaknya, aku bersyukur karena masalahku selesai meski sempat ada aksi tuding-menuding yang jelas menyakiti hati Ibu.

Seharusnya semuanya sama; kecuali ketika Clara memasuki kelas. Raut wajahnya seperti biasa, tanpa senyum, dengan deheman khasnya untuk menetralisir suara serak. Ia letakkan tasnya dengan gaya biasanya, lantas duduk dan mulai basa-basi, "Sedang mengerjakan apa?" pada teman sebangkunya.

Dan, sungguh, semuanya jadi terjungkir balik di depanku. Yang kuingat adalah tulisan panjangnya dalam e-mail. Tidak, isinya tidak menyakitkan hatiku—lagipula, aku terbiasa dengan tingkahnya yang sassy—namun menohokku tepat di dasar nurani. Mengetuk pintu hatiku hingga terasa ada debur ombak di sana.

Seharusnya semuanya sama; ketika Clara akhirnya menoleh pada bangkuku, dan aku hanya sanggup menatapnya kosong. Tidak lagi bisa mematri senyumku seperti biasanya, pun membalas kontak matanya dengan baik-baik saja.

Aku ... merasa jadi seonggok daging hina di hadapannya.

***

Tidak tahu kapan tepatnya aku dan Clara jadi dekat. Yang jelas, detik-detik menjelang itu, satu kelas tidak rela. Clara memiliki kubu sendiri, kubu kanan. Sementara aku berdiri di kubu kiri. Kubunya memang tidak sebanyak milikku, tapi mereka tipikal orang-orang yang setia dan percaya bahwa musuh tidak akan mungkin jadi teman.

Dan, yah, that's all. Tidak akan ada yang bisa mengatur Tuhan, 'kan? Maka aku dan Clara tetap didekatkan oleh-Nya, dan akhirnya tidak ada lagi yang menyindir, "Oh, sekarang dia cs-mu?" dan lain sebagainya. Istilahnya, anjing menggonggong, kafilah berlalu.

Clara tipikal orang yang sarkastik, dia selalu bicara apa adanya. Itulah sebabnya aku tidak terlalu respek dengannya dari awal. Tapi, aku tidak tahu, kalau ternyata dia punya sisi lain: pendengar yang baik, orang yang penyendiri, dan penuh filosofi.

Satu lagi yang paling kuingat darinya: dia pintar sekali merangkai kata-kata.

Maka, jangan heran, jika perdamaianku dengan Ibu kemarin juga karenanya. Oh, shit, sekarang email-nya yang mengetuk hatiku kembali lagi ke dalam visiku, meskipun blur. Sepertinya, aku memang harus menceritakannya pada kalian.

Teruntuk Diane,

Maaf kalau kamu tersinggung dengan kata-kataku di dalam sini. Ini aku, Clara, akan kucoba memperkenalkan diri kembali. Ini Clara yang sebenarnya pemalu, iya, yang itu. Tapi, kamu perlu tahu juga, ini Clara yang hidup di tengah keluarga yang hangat dan penuh canda tawa. Ini Clara yang terbiasa dengan tangis yang ditahan diam-diam demi menenangkan anggota keluarga yang lain. Ini Clara yang terbiasa untuk menahan ego di rumahnya hanya demi keutuhan keluarga yang harmonis. Ini Clara yang rela minta maaf kepada orang tuanya, bahkan meskipun ia tidak merasa bersalah.

Dan, ini Clara, yang tidak tega mendengar tangisan seorang Ibu menyapa rungunya. Yang tidak tega dengan sedu sedan pilu, bercampur ratap kesakitan akan mimpi buruk seorang Ibu. Ini Clara, yang justru harus mendengarnya di malam buta, ketika Diane sudah tertidur di kamar sebelah. Kamu mengerti maksudku, 'kan, Diane?

Aku yakin, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.

Ya, sampai situ. Kugoreskan kembali tinta bolpoinku untuk melanjutkan tulisanku. Mengabaikan Clara di meja sebelah sana, sibuk menatapiku—memecah konsentrasinya menjawab pertanyaan dari teman-teman di kubunya.

***

Bel pulang sekolah berbunyi. Tawa-tawa tertahan berangsur disemburkan. Tentu aku ikut andil di dalamnya, meski ada yang kosong di relung batinku. Seberkas rasa bersalah yang sejak kemarin tak mau memudarkan diri. Kurajut langkah-langkah bersama temanku yang lain untuk segera mencapai lantai bawah, beranjak menuju gerbang dan pulang dengan lega.

"Diane."

Panggilan itu menghentikanku. Temanku yang lain tetap berjalan ketika melihat siapa yang berdiri di belakang sana. Mereka menjabat tanganku dan mengucapkan selamat tinggal untuk berjumpa kembali. Meninggalkanku mematung di sini.

"Diane," gadis itu melangkah lebih dekat, "aku yakin ada yang salah di antara kita."

"Kita?" tanyaku, mengulang kata-katanya.

"Iya, ada yang salah, sepertinya."

Aku menghela napas, memutuskan tersenyum. "Apanya? Aku dan kamu masih sehat, kita tidak salah pakai seragam, tidak kena omelan guru, tidak salah mengerjakan—"

"Kamu, lebih tepatnya," pangkasnya begitu saja. Kemudian, ia melanjutkan setelah memberi jeda, "Kamu kenapa? Aku ada salah, ya?"

Sedetik. Dua detik.

"Aku harus pulang, Cla," ujarku. "Pertanyaannya kujawab besok."

Clara menggeleng, dan aku mendongakkan kepala segera. "Tidak perlu. Kamu hanya akan menghindariku esok hari. Kalau tidak bisa menjawab, mending lupakan saja."

Aku hanya merasa bersalah. Aku terlalu buruk buat jadi temanmu, batinku berontak. Namun, mulutku bisu saja.

"Aku selalu berdoa pada Tuhan, Diane. Agar yang baik, didekatkan padaku. Dan yang buruk, aku rela dijauhkan jika aku tidak bisa mengubahnya menjadi lebih baik," ujarnya kemudian. Sedetik, ia meneruskan, "Dan, ternyata begini Tuhan mengaturnya. Ya sudah, tidak apa-apa. Jaga kesehatanmu. Aku minta maaf sudah lancang masuk ke wilayah pribadimu."

Dan, sungguh, sore itu aku ingin menangis tatkala melihat punggungnya menjauh. Mungkin aku akan tetap berada dekat dengannya, namun jarak tak kasat mata itu jauh lebih menyakitkan.

Seakan-akan dia mengatakan, selamat tinggal, Diane, dan itu frasa terakhir yang ingin kudengar dari belah bibirnya.

fin.

Dua yang Satu [kumpulan cerpen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang