Menyusuri Kota Leiden

258 1 0
                                    


Akhirnya aku sampai juga di kota impianku, Leiden. Mataku menatap tak percaya ketika mendapatkan kesempatan kuliah di Universitas Leiden. Kota yang kutulis dengan huruf besar di peta impianku.

Udara yang bersih menyambutku. Suasana kota sangat lengang. Berbeda dengan ibukota negaraku Indonesia. Di kota ini tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Orang Leiden terbiasa menempuh perjalanan dengan kereta dan sepeda. Di setiap ruas jalan akan ditemukan jalur khusus sepeda. Mereka meninggalkan sepeda di stasiun. Pulang dari kerja, mereka naik lagi sepeda ke rumah.

Selain sepeda, jalan kaki adalah pilihan asyik untuk menikmati kota tua ini. Aku pun bergegas menuju apartemen yang akan kusewa hingga dua tahun ke depan. Hari ini akan kuhabiskan menyusuri kota dengan jalan kaki. Hal yang tidak pernah kulakukan ketika di Jakarta.

Menyusuri Leiden dengan bahasa Belanda yang pas-pasan. Kuamati bangunan tua yang masih dipelihara. Mataku menatap bangunan yang dipenuhi mural puisi. Kukerjapkan mataku. Kutelusuri huruf demi huruf yang tertulis di mural. Puisi Aku karya Chairul Anwar, ada di mural tersebut. Dadaku sesak. Puisi itu sangat kuhafal. Salah satu puisi yang kusukai. Pemerintah Belanda menulisnya begitu apik tanpa mengubah satu kata pun. Seandainya pemerintahku melakukan hal yang sama. Kembali hatiku mendesah.

Selain puisi Aku, kutemukan puisi Kalatidha karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, tokoh budaya Jawa yang juga kukagumi karyanya. Puisinya ditulis dalam bahasa Jawa. Penggalan puisi Elong yang ditulis dalam bahasa Bugis juga ada di sana. Kuhirup napas panjang. Puisi karya warga Indonesia begitu dihargai di sini. Aku membayangkan salah satu sudut kota ini menuliskan puisiku. Alangkah bahagianya.

Usai melihat mural puisi kulanjutkan langkahku menyusuri kanal. Bangunan kanal sudah dimasukkan dalam perencanaan kota Leiden sejak abad ke-17. Kanal bagian luar untuk pertahanan, dan yang didalam untuk transportasi. Setiap kanal dilengkapi dengan dermaga yang ditutupi pepohonan.

Aku memilih duduk di pinggiran kanal. Kupilih salah satu restoran apung untuk memenuhi makan siangku. Kuperhatikan kapal yang hilir mudik mengantarkan penumpang menuju tujuan. Alangkah romantisnya bila aku sempat menikmati perjalanan menyusuri sungai Rhine bersama kekasihku. Akan kutulis itu di mimpiku selanjutnya.

Kuambil ponselku. Beberapa kali kubidik obyek terdekat dari tempat dudukku. Sungai yang bersih, taman yang indah, dan pepohonan hijau yang sedap dipandang mata. Suasana musim panas, membuatku bisa menikmati keindahan kanal-kanal di Leiden. Di kota ini sering ada festival. Salah satunya festival berkapal.

Leiden memang menarik untuk kutelusuri. Dalam dua tahun akan kugunakan waktuku untuk meneliti detil kota. Siapa tahu bisa kugunakan untuk membangun kotaku Jakarta. Kusesap minumanku. Usai membayar minuman dan makan siang, kulanjutkan perjalanan menuju apartemen.

Mataku masih menatap kapal yang berlayar di sungai Rhine. Inginku menyewa kapal untuk menyusuri semua kanal di Leiden. Keinginan itu harus kutahan. Waktuku masih banyak. Lagipula uang yang kubawa terbatas.

Langkahku terhenti di taman dekat dermaga. Bunga tulip beraneka warna bermekaran. Wangi khas tulip menguar. Pohon khas Belanda yang termasuk salah satu ikon wajib untuk difoto. Tanganku menyentuh bunga. Aku tidak memetiknya. Cukup kumengagumi ciptaan-Nya.

Aku masih duduk di taman. Sebentar lagi senja turun. Semburat jingga mulai menghiasi angkasa. Andai kunikmati berdua dengannya yang di Yogyakarta. Lampu-lampu mulai menyala di sudut taman. Saatnya kukembali ke apartemen.

� 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 12, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now