Reuni

816 3 0
                                    


Ada yang berbeda di sudut Café Coklat. Tulisan tertutup yang dipasang menandakan ada yang telah memesan café untuk suatu acara. Valerie sebagai salah satu panitia reuni mulai sibuk mengatur sudut ruangan café. Ia dan pemilik café terlibat diskusi penempatan berbagai alat pendukung reuni.

Valerie mengecek daftar pekerjaannya. Tinggal mengecek menu. Valerie bergegas ke dapur untuk memastikan menu yang ia minta tersedia. Chef Toni terlihat sedang memberikan arahan kepada anak buahnya. Valerie tersenyum melihat kinerja Chef Toni dan team. Akhirnya Valerie bisa bernapas lega.

Setahun lalu, saat bertemu dengan beberapa teman SMA, tercetuslah ide reuni. Valerie yang terbiasa menangani event organizer didapuk sebagai ketua pelaksana. Awalnya ia tidak mau. Valerie sudah membayangkan bagaimana repotnya mengurus event sebesar itu. Bujukan dan hadiah tidak mempan buat Valerie. Baru ketika mereka membujuk Valerie dengan nota kerjasama melalui EOnya, ia luluh. Proyek dari teman-temannya sanggup untuk menutupi pengeluaran perusahaan.

"Val, semua alumni sudah diundang?" tanya Rio, wakil panitia reuni, ketika ia mampir ke Café Coklat.

"Sebentar, kucek dulu." Valerie memeriksa daftar nama di depannya. Semua sudah dicek list. Valerie mengangkat jempolnya.

Rio tersenyum. Ia menghirup napas lega.

"Berarti tinggal pelaksanaan. Semoga semuanya lancar." Rio menjabat tangan Valerie.

#

Kesibukan Café Coklat mulai terasa. Valerie dibantu Melda, asistennya terlihat berjalan ke seluruh sudut café. Semua detil ia cek. Setelah semua Ok, Valerie kembali ke kantor yang terletak di lantai atas Café Coklat.

Valerie melihat bentuk tubuhnya di cermin. Lekukan lemak sudah tidak ada. Rambutnya ia gerai. Ada jepit warna pink menjadi hiasannya. Wajahnya sudah ia pulas dengan bedak. Blush on sudah disapukan di pipi yang sudah tidak chubby lagi. Hidung dan mata sudah dihias dengan kosmetika yang sudah lama menjadi favoritnya. Tangan Valerie menyentuh dahi, mata, hidung, dan berakhir di bibir. Warna pink dipilih Valerie untuk memoles bibirnya.

Valerie membuka lemari. Ia mengeluarkan baju warna pink. Pemilihan kain, aksesoris, dan design buatan Valerie. Sedangkan penjahit ia pilih berdasarkan rekomendasi ibunya.

Baju Valerie terlihat pas di badan. Design yang dipilihnya cocok untuk tubuh mungilnya. Ia menambahkan aksesoris clutch dan sepatu hak tinggi. Semuanya sempurna. Tak lupa parfum ia semprotkan ke seluruh tubuhnya.

Mata Valerie mencari keberadaan Melda. Ia tidak ingin ada yang terlewat. Ketika Melda menjawab sudah OK di walkie talkienya, barulah Valerie bisa bernapas lega.

Dari sudut panggung, Valerie bisa melihat alumni yang mulai memadati Café Coklat. Ada yang berdua dengan suami/ isteri, berdua dengan pasangan atau sendiri. Tangan Valerie mulai terasa dingin. Beberapa menit lagi ia akan memberikan sambutan. Muka Valerie mulai pucat. Meskipun sudah sering memimpin acara, ini pertama kalinya ia tampil di depan teman SMAnya.

MC sudah membuka acara. Tak lama Valerie mendengar namanya dipanggil. Bak model Valerie naik ke panggung. Puluhan pasang mata menatap Valerie tak berkedip. Pesona Valerie membius banyak orang untuk fokus kepadanya.

"Sebelumnya saya ucapkan terimakasih untuk yang sudah hadir di acara reuni perdana. Menyiapkan acara ini memang tidak mudah. Apalagi ada banyak kepala yang menyumbang ide dan saran. Setelah melewati banyak hal, Alhamdulillah, acara reuni ini bisa terlaksana. Terimakasih untuk seluruh panitia yang sudah berkenan membantu dari pra hingga akhir nanti. Untuk para donator dan sponsor, terimakasih bantuan dan hadiahnya. Dan selamat bereuni! Semoga bisa melanggengkan relasi." Valerie menutup sambutannya. Ia turun dengan anggun.

Rio langsung menyambutnya dengan jabatan tangan. Valerie tersenyum.

"Berkatmu juga." Valerie memukul lengan Rio.

"Tidak menyangka Valerie kita bermetamorfosis. Bisa cantik juga dia," komentar Iksan.

"Dari dulu Valerie cantik. Kalian saja yang tidak melihat," bela Rio.

"Ngomong-ngomong lihat Niko tidak?" tanya Edo.

Rio mengedarkan pandangannya ke semua sudut café. Sosok yang mereka cari belum ada.

"Belum lihat. Kenapa?" tanya Rio.

"Aku berharap Niko datang dan melihat Valerie sekarang." Jawaban Edo membuat semua tersentak.

"Wait, maksudmu?" kejar Rio.

Edo langsung menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Mukanya salah tingkah.

"Do, jelaskan! Jangan membuat kami penasaran." Iksan menahan tangan Edo yang beranjak dari tempat duduk mereka. Tangan Edo menepis tangan Iksan.

"Val, ke sini." Teriakan Edo sontak menghentikan band yang sedang memainkan lagu. Semua mata memandang ke arah Edo yang sedang dipeluk Iksan. Keduanya langsung salah tingkah.

"Maaf." Hanya itu kata yang keluar dari keduanya. Semua orang pun segera kembali meneruskan kegiatannya.

Valerie mendekati kerumunan meja Rio.

"Kalian kayak anak kecil. Memangnya sedang membicarakan apa?" selidik Valerie.

Mata Rio memberi isyarat kepada Edo dan Iksan untuk diam.

"Kok pada main mata begini?" Mata Valerie menatap tidak suka kepada tiga pria yang ada di depannya.

"Tidak mau jujur?" ancam Valerie.

Ketiga pria itu langsung menunduk. Tidak berani menatap Valerie.

"Rio, bisa cerita tidak?" paksa Valerie.

Rio hanya mengangkat bahu. Tangannya menunjuk kepada Iksan yang menjawab dengan menggerakkan bahu. Edo juga menjawab dengan tekstur tubuh.

Valerie menatap tajam kepada Rio, Iksan, dan Edo. Ketiga pria semakin terintimidasi.

"Aku belum terlambat, Val." Suara lembut yang barusan datang membuat dunia Valerie terdiam sesaat. Sosok itu langsung menyalami Valerie yang masih bengong.

"Terimakasih, Bro. Kau menyelamatkan kami,"kata Rio sambil menjabat tangan Niko.

"Kukira tidak datang," imbuh Iksan.

"Maunya tidak datang. Tetapi kasihan ibu ketua reuni kita. Sudah buat acara sebagus ini, masak aku absen? Iya kan, Val?" Kalimat panjang Niko sejak terakhir lulus dari sekolah.

Valerie masih menatap Niko tak percaya. Matanya mengerjap berkali-kali.

"Ini Niko? Nikolas Wijaya?" tanya Valerie.

"Iya. Ini aku, Bu ketua. Nikolas Wijaya." Niko membawa tangan Valerie ke pundaknya.

"Bisa dilihat? Kakiku menjejak tanah. Kamu bisa menyentuh tubuhku kok." Niko mendekatkan diri ke hadapan Valerie.

"Val, Nik, kami ke sana dulu. Silakan kalian bernostagia. Kami tidak mau menjadi obat nyamuk," kata Rio sambil menepuk pundak Niko.

"Kami tinggal ya, Bro. Titip Valerie. Jangan buat dia menangis," ancam Edo.

"Siap, Bro." Niko membalas dengan mengacungkan jempolnya.

Niko menuntun Valerie ke kursi terdekat.


Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now