Sepuluh

1.1K 162 11
                                    

Ide ide gila bonyok gue untuk mendekatkan gue dan Lay semakin menjadi coba. Masa iya sekarang gue disuruh tinggal bareng sama Lay? Yang bener aja.

"Dek, jangan lupa baju kerjamu dibawa juga." perintah nyokap.

"Iya iya ma." jawab gue.

Nyokapnya Lay ngasih satu apartemen yang lokasinya ga jauh dari sekolah. Gue bersyukur karna itu.

Iya, karna itu doang. Selebihnya mah gue mengumpat.

"Sini saya bantu bawa." kata Lay yang tiba tiba ada di depan gue ga ada angin ga ada ribut.

"Eh gausah, ini ringan kok." kata gue menolak. Tapi dia tetap maksa untuk membantu gue.

Kenapa Lay susah banget ditebak? Kenapa terkadang dia perhatian, dan terkadang cuek? Terus apa maksud dia bersikap 'bego' di sekolah?

Momen awkward disaat gue dimobil berdua sama Lay yang diliputi keheningan kembali terulang. Hanya ada suara radio yang menjadi penetral suasana sekarang.

"Sampai kapan kamu ingin tetap diam, Lay?" tanya gue. Dia pun menepikan mobilnya dan membalikan badan menghadap gue.

"Ibu percaya ga, kalau saya sebenernya cinta sama ibu?" tanya dia sambil menatap mata gue.

Gue menghela nafas setelahnya.

"Cukup akting kamu, Lay." kata gue diiringi helaan hafas berat.

"Saya ga lagi akting sekarang. Ini saya, Lay yang sebenarnya. Bukan Lay yang bersikap bodoh setiap pelajaran ibu di kelas."

"Tapi kenapa?" tanya gue.

"Ibu tau istilah Munchausen Syndrome?" tanya dia.

Gue menautkan alis sejenak kemudian menjawab dia.

"Syndrome dimana seseorang pura pura sakit demi mendapat simpati?" tanya gue.

"Iya. Tapi bedanya, saya pura pura bodoh demi mendapat simpati ibu." jelas dia.

"Lay, saya masih enggak ngerti. Jadi, kamu tau semuanya sejak awal?"

"No, enggak sejak awal. Kelas sepuluh dan sebelas saya masih saya yang asli. Sesaat setelah ibu mengajar, saya rasa saya harus melakukan itu."

"Tolong jangan bertele tele, Lay." kata gue frustrasi.

Dia menghela nafas setelahnya, dan bilang,

"Saya cinta sama ibu. Bahkan saat pertama kali ibu mengajar. Itulah kenapa saya cari cari perhatian di setiap pelajaran ibu." kata dia. "Dan saat mama saya bilang saya bakal dijodohin sama ibu, tentunya saya ga bakal nolak."

Gue speechless. Lay yang gue 'kenal' jauh berbeda dengan Lay yang ada di hadapan gue sekarang.

"Masih banyak waktu, bu. Kalau ibu enggak setuju akan perjodohan ini, ibu bisa bilang ke mama papa ibu. Saya enggak apa apa," kata dia yang bikin gue menaruh simpati dan berubah pikiran.

"Lay.. Kamu serius sama saya? Kamu cinta saya dari dalam hati kamu?" tanya gue meyakinkan.

"Iya. Dari dalam hati saya. Yang terdalam dalam dalam dalamnya." jawab dia.

Dia udah kehilangan ayahnya di usianya yang masih tergolong muda. Gue enggak mau dia bertambah terpuruk karena kehilangan orang yang dia cintai. Kalau gue memutuskan menikah sama Lay, gue membuat dua keluarga bahagia. Termasuk Lay.

Ya, setidaknya dengan begini gue bisa membuat orang lain bahagia. Meskipun ribuan resiko menghadang.

Gue berusaha menyingkirkan ego gue dan merubah pola pikir gue. Gue meyakinkan diri gue bahwa yang gue lakuin ini benar.

"Saya enggak keberatan dengan pernikahan ini," jawab gue.

"Beneran, bu?" tanya dia.

"Iya,"

"Eum.. Tapi—" Belum selesai Lay menyelesaikan ucapannya, gue mengecup bibir Lay singkat dan itu sukses membuat Lay terdiam.

"Udah jelas kan? Ayo jalan," kata gue diiringi tawa ringan.

[DISCONTINUED] Dumb Student🔹 Zhang Yixing (2017)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang