Part - 11

209 89 18
                                    

Aku menelan salivaku, menatap kepergiannya. Tidak salah lagi.

"Kamu Cerox." Aku mengucapkannya tanpa ragu-ragu membuat langkahnya terhenti.

Bahunya terlihat bergetar. Aku menatapnya penuh selidik. Tidak tahu apakah dia menangis atau tertawa.

Tiba-tiba suara tawanya terdengar menggelegar. Perlahan dia mulai berbalik. Tawanya berhenti. Dia menatapku tajam. Aku balas menatapnya tajam.

"Brilliant sekali." Cerox menjentikkan jarinya.

"Cerox? Ya, aku Cerox." Katanya sembari menyeringai.

Aku masih menatapnya tajam, waspada akan segala kemungkinan. Ini namanya penculikan. Dan, untuk bangunan kerucut tembus pandang. Markas apanya? bangunan kerucut itu bahkan bisa di masuki siapa saja tanpa lewat seluncuran sebagai pintu utamanya.

Cerox mengerang marah. "Berani-beraninya kamu menatapku seperti itu! Tidak sopan. Apa orangtua mu yang mengajari mu untuk bersikap seperti itu pada orang yang lebih tua? Hah?"

Aku mengepalkan tangan. "Tidak," tekanku. "Sama sekali tidak. Ta-"

"Berhenti menjawab!"

Aku meringis, Cerox memotong kalimatku. "Jelas itu yang lebih tidak sopan." Aku bergumam kecil.

"Beri aku kalung itu dan kamu selamat." Perintahnya mengancam.

Aku jelas saja menggeleng tegas. "Tidak akan."

Melalui penjelasan singkat Zoe dan Fric tentang Cerox dan keinginannya. Tidak semudah itu aku percaya dan harus menurut pada orang yang tidak ingin Tiga Pendekar Keseimbangan terbebas dari kutukan.

Cerox menatapku geram. "Kubilang berikan kalung itu!"

Aku menggeleng tegas sekali lagi.

"Kamu hanya remaja perempuan yang tidak tahu apa-apa. Jangan membuatku kesal! Berikan kalung itu dan kamu bebas dari sini!"

"Tidak mau!" Aku tetap menggeleng. "Kenapa? Kenapa memangnya aku harus memberikan kalungku padamu?" Tanyaku seakan tidak tahu apa-apa.

"Karna kehadiranmu adalah bencana untukku." Cerox menekankan kalimatnya. Wajahnya terlihat memerah padam, menahan marah. Jujur kakiku sedikit bergetar melihatnya. Perasaanku memang takut, tapi nyaliku lebih bisa diandalkan.

"Kamu! Kalung itu memilihmu! Takdir memilihmu untuk menghancurkan semua rencanaku!" Katanya membentak.

"Berikan kalung itu!"

"Aku sudah bilang aku tidak mau!"

Cerox mengusap kepalanya. Menghembuskan napas.

"Baiklah, kamu yang memintanya." Tangan pucatnya mulai terangkat. Aku melangkah mundur. Alisku bertaut, apa yang akan dia lakukan?

Tiba-tiba saja padang rumput ini berubah menjadi sel penjara yang luas. Di sekelilingku, tepatnya diluar sel penjara ini ada beberapa orang yang mengenakan pakaian baja tengah menatap ke arahku dan Cerox.

Aku ragu menelan salivaku. Ini di mana? Padang rumputnya kenapa berubah?

Aku masih menatap sekeliling, bingung. Di samping kananku, depan, dan belakang dinding batu menjulang tinggi, dan sisanya jeruji besi ukuran besar mengurungku dan Cerox di dalamnya.

Aku menggigit bibirku. Apa yang harus kulakukan?

Tangannya mengarah ke arah depan, membuat suara keras hingga tanah di depanku runtuh. Aku dengan cepat mundur beberapa langkah. Menatapnya tak percaya. Tanah itu runtuh, membuat garis yang memisahkan antara aku dan Cerox. Aku menahan napas tertahan melihatnya. Hanya dengan sedikit gerakan di tangannya, dan tanah di depanku runtuh hingga membentuk jurang sedalam belasan meter.

BASEMENT (HIATUS)Where stories live. Discover now