Part - 1

802 274 175
                                    

Zedva's POV

Hari ini adalah hari dengan coretan merah di tanggalnya.

Hari libur.

Hari dimana aku akan sibuk memperhatikan Kakek di basement setelah acara sarapan pagiku selesai.

Bola mataku terus mengikuti gerak-gerik Mama yang cekatan membereskan ini-itu di dapur, sambil dengan santai memasukkan sesuap nasi goreng buatan Mama. Mengunyahnya perlahan, lalu dengan perlahan juga lidahku merasakan kelezatan yang membuatku ingin menyuapnya lagi.

Sarapan pagi bersama sudah lewat, sepertinya aku selalu melewatkan nya di setiap weekend. Entahlah, alhasil sekarang aku sarapan sendirian. Ditemani Mama yang sibuk bersama dengan celemek kotornya.

Sesekali aku terkekeh ditengah-tengah mengunyahku. Lihatlah, Mama didepan piring-piring kotornya itu sedang membicarakanku. Bilang katanya aku adalah anak gadis terberuntung di dunia, tidak pernah dituntut apapun oleh Mama dan Papa, setelah hampir lima belas tahun. Baiklah mungkin itu terlalu berlebihan, tetapi begitulah kenyataanya. Aku jarang membantu Mama, bahkan menontonnya memasakpun aku tidak pernah. Kupikir lebih asyik memperhatikan apa yang Kakek lakukan di basement daripada memperhatilan Mama dengan wajan dan spatulanya. Oke, katakan aku anak yang tidak baik.

Suapan terakhir. Kuakhiri dengan menenggak segelas susu.

*

Kakiku berjalan melewati rumput-rumput hijau yang basah. Sesekali tampak genangan-genangan air di halaman belakang rumahku ini. Iya, semalam hujan deras membasuh kota yang kutinggali. Menyisakkan genangannya untuk sebuah kenangan manis bersama hujan tadi malam.

Daun-daun mulai menitikkan embunnya, membuat suasana semakin sejuk dan terasa segar. Burung-burung sudah terdengar saling sahut-menyahut, menyatakan kerinduannya akan sosok pagi.

Aku sampai di depan pintu kayu tua. Pintu yang sederhana, tetapi didalamnya banyak menyimpan rahasia besar. Banyak sesuatu yang mungkin lebih dari kata menakjubkan. Sesuatu yang mungkin saja belum pernah aku lihat sebelumnya.

Aku meraih gagang pintu kayu tua itu. Terasa dingin. Gagangnya terbuat dari aluminium putih yang sampai sekarang belum juga berkarat. Terlihat absurd memang.

Aku membukanya perlahan. Mulai menampakkan kakiku turun ke beberapa anak tangga. Kakek terlihat sedang sibuk disana. Membelakangiku. Jujur, bertahun-tahun aku memperhatikan Kakek bahkan sejak aku berumur dua setengah tahun, aku tidak pernah tahu apa yang dibuat Kakek. Benda-benda atau mesin buatannya itu terlihat aneh, sulit dikenali dari segi bentuk maupun kegunaannya. Kakek selalu bilang bahwa akan menjelaskannya nanti-nanti jika umurku sudah cukup.

"Kakek!" Sapaku. "Aku tidak mengganggu kan?"

Kakek menghentikan kegiataannya sejenak hanya untuk menyapaku kembali. "Pagi Va, tumben sudah bangun." Kata Kakek diselingi dengan tawa renyahnya.

Aku menatapnya cemberut, duduk di kursi tua tepat di hadapan Kakek.

"Ini masih jam delapan loh Va," Goda Kakek lagi.

Aku menghela nafas, malas memperpanjang masalah bangun tidurku. "Itu kalung kan Kek?" Tanyaku mengalihkan topik. Kurasa yang tengah di buat Kakek memang sebuah kalung. Kalung dengan liontin bintang?

Kakek mengangguk.

Tuh kan!

"Apa Kakek akan menghadiaiku sebuah kalung saat ulang tahun ku ke lima belas nanti?" Tanyaku antusias.

"Entahlah, memangnya ini disebut hadiah atau takdir?" Kata Kakek dengan suara khas seraknya.

"Hah? Apa maksudnya Kek?" Aku dibuat melongo dengan penuturan Kakek barusan, Hadiah? Takdir? Hadiah takdir apa?

BASEMENT (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang