Sial. Lihat mereka. Seharusnya aku tidak terlibat, seharusnya aku tidak ikut andil dalam pertemanan itu. Sebelum aku datang, mungkin mereka memang sudah seakrab itu, kan? Ini sungguh menyedihkan. Semuanya membuatku sadar jika kehadiranku di hadapan mereka hanya untuk merusak, hanya untuk menghancurkan persahabatan mereka yang sebelumnya sudah terjalin.

Secara dramatis, pikiranku kembali terdesak pada kenangan lama. Potongan-potongan bagai kilasan film itu berputar secara tidak sopan di kepalaku. Kenangan konyolku bersama Cara, tingkah bodoh Selena dan bagaimana caraku membuka diri terhadap mereka perlahan-lahan. Bagaimana aku menjadi diri sendiri di depan mereka, bagaimana aku merasa... mereka mendampingiku dalam posisi yang sempurna. Dan bagaimana aku merasa jika Cara dan Selena adalah pengganti Connor dalam kehidupanku di sini.

Sial, sudah berapa kali aku merasa rapuh?

Saat itu, aku hendak berbalik. Berniat untuk mencari jalan lain memasuki kelas dan membiarkan mereka menikmati waktu tanpa kehadiranku lagi. Namun tiba-tiba, angin berembus kencang. Hingga sesuatu terasa memasuki hidungku, membuatnya terasa gatal dan saat itu juga aku bersin dengan keras. Kau tahu, keras sekali. Sampai-sampai aku merasa cairan hidungku keluar begitu saja. Refleks aku segera menyekanya dengan punggung tanganku lalu membersihkannya dengan pakaianku. Oke, aku tahu itu terdengat sangaaaaat menjijikkan, tapi aku kehabisan stok tisu di dalam ranselku. Sial, aku sibuk membenahi diri dan cairan hidungku sendiri tanpa menyadari jika Cara dan Selena kini berbalik dan memandangku syok.

Sial.

Embusan angin mulai lenyap secara perlahan, menyisakan embusan kecil yang menghasilkan bunyi gesekan dedaunan di atas pohon. Aku menghela napas, dengan keadaan yang sudah lebih baik—menurutku—lantas mendongak, menatap eksistensi mereka berdua dengan pandangan... entahlah. Aku hanya memandang mereka, bermaksud untuk berani.

Hingga tiba-tiba, Selena bersuara. "Kau..."

"Maaf," tandasku seraya menaikkan satu alis, berlagak apatis seperti yang biasa kulakukan saat terdesak. "Aku hanya bersin dan tidak berniat menganggu kalian sama sekali. Silakan lanjutkan perjalanan menyenangkan kalian menuju kelas karena aku—"

"Allegra,"

"—karena aku berniat mampir ke perpustakaan untuk mengadakan pertemuan singkat bersama klub Sainsku. Lalu..."

Ucapanku menggantung begitu saja saat Selena menatapku dengan pandangan... horor. Diiringi ringisan kecil yang terlihat mengertikan. Dari jarak dua meter, tiba-tiba ia menunjuk lantai di dekatku seraya bergumam. "Ingusmu berceceran."

The fuck?

Refleks, aku menunduk dan praktis tercekat saat kulihat cairan hidungku sendiri yang mengotori lantai dengan... begitu lebar. Demi Tuhan, aku tahu ini sangat menjijikkan. Ini adalah pertama kalinya aku merasa benar-benar bodoh dan jorok sekali. Tapi, persetan. Aku melakukan ini di hadapan teman-temanku. Jadi masa bodoh. Beruntung keadaan sekolah tengah sepi. Setelah menyadari keadaan sekitar yang cukup aman, aku melangkah. Lantas membersihkan cairan hidungku sendiri dengan sepatu yang kukenakan. Sial, sepatu kesayanganku digunakan untuk mengelap ingus? Yang benar saja.

Saat sibuk membersihkan cairan hidung di atas lantai dengan gesekan sepatuku sendiri, aku mendengar Selena mengerang seraya mengernyit jijik. Mulanya, aku tidak terlalu peduli. Karena sikap Selena bisa sangat lebih gila dari yang ia lakukan saat ini. Namun aku terkejut saat tiba-tiba Cara tertawa. Astaga, perempuan itu tertawa keras sambil memegangi perutnya sendiri. Suara tawanya bahkan terdengar jelek sekali.

Aku dan Selena menatapnya bingung.

"Ya ampun! Menggelikan sekali—HAHAHAHAHA! Aku tidak kuat lagi." tukas Cara dengan mulut terbuka lebar. "Astaga, itu ingus. Aku melihat ingus!"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 14, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SOMETIMES [DISCONTINUED]Where stories live. Discover now