Bab 34: Alun-alun

1.8K 183 204
                                    

-- Rumah keluarga Bagus, Yogyakarta, 19:00 WIB

Malam itu, sepulang dari Candi Prambanan, Tiara, Lita, Danar, dan keluarga Danar berkunjung ke rumah Bagus karena dijamu makan malam oleh Pak Nares dan Bu Ayudia. Rumah mereka tidak begitu besar namun nyaman. Bu Ayudia pandai memasak. Bakmi, tahu dan tempe bacem, serta krecek disajikan di atas meja makan. 

"Bapak juga bantu, kok," ujar Bu Ayudia sambil melirik ke suaminya ketika para tamu memuji masakannya. 

Pak Nares hanya mengangguk. Ia hampir sama pendiamnya dengan Danar. 

Sebenarnya meja makan keluarga Bagus hanya dapat menampung delapan orang. Alhasil, Bagus dan adik-adiknya mengalah dan makan sambil duduk di sofa ruang keluarga. Hanya Tiara, Danar, Lita, Wulan, Pradipta, Ratna, Chandra, Pak Nares, dan Bu Ayudia duduk di meja makan. Pak Nares menarik satu kursi tambahan sehingga muat sembilan orang. Suasana rumah sangat ramai. Bagus dan adik-adiknya mengobrol dalam Bahasa Jawa. Bu Ayudia mengobrol dengan Tiara dan Lita. Sedangkan Pak Nares mengobrol dengan Danar, Pradipta, Ratna, dan Wulan. 

Entah bagaimana awalnya, Bu Ayudia bercerita mengenai pengalaman hidupnya, termasuk menjadi anggota Bhayangkari yang merupakan organisasi khusus istri anggota Polri. Ketika mendengar cerita tersebut, Lita malah menutup mulutnya untuk menyembunyikan tawa kecilnya. Ia menyikut lengan Tiara yang tak mau ambil pusing apakah Bu Ayudia sedang memberikan kode atau memang ingin bercerita saja. 

"Apaan, sih?" protes Tiara.

"Nggak apa-apa," tawa Lita. "Nggak kebayang aja kamu jadi ibu-ibu Bhayangkari."

Tiara melotot ke arah Lita. "Masih aja ini."

Bu Ayudia tersenyum sambil meneguk teh hangatnya. "Ya, memang nggak mudah jadi istri polisi. Kalau nggak sanggup, sebaiknya nggak usah. Eh, Tante ngomong begini bukan ke kamu, loh, Nak Tiara. Maksudnya untuk semua perempuan yang bermimpi jadi istri polisi karena kelihatan keren, tanggung jawabnya juga besar."

"Hari gini masih ada yang mimpi jadi istri polisi? Bukannya banyaknya mimpi jadi istri CEO?" tawa Tiara. "Maaf, Tante, aku nggak bermaksud nyinggung, ya. Tapi maksudku, em, maksudku, sebaiknya suka sama orangnya, kan, bukan sama pekerjaannya."

Bu Ayudia mengangguk. "Benar katamu, seharusnya sukanya sama orangnya. Tapi bisa saja pekerjaan jadi alasan kenapa seseorang menerima atau menolak calon pasangannya. Misalnya, ada yang nggak mau jadi istri polisi atau pilot karena akan sering ditinggal-tinggal. Atau ada yang mau sama dokter karena keren dan mapan."

Lita mengangguk. "Aku pribadi pilih programmer biar bisa nge-geek bareng," ujarnya. "Aku pengen gombalan ala geeky, misalnya 'cintaku nggak linearly separable' atau 'kamu tinggal SSH ke hatiku saja.'"

Tiara dan Bu Ayudia memandangi Lita tak mengerti, namun mereka tertawa. 

"Kamu aneh-aneh aja, Lit," ujar Tiara. 

"Tapi aku jadi mikir, Tante. Ada, kan, orangtua yang mau menantu tertentu. Misalnya mau menantu dokter atau PNS," kata Lita berkode. 

"Ada banget," jawab Bu Ayudia. "Tapi kalau Tante, sih, percaya dengan pilihan anak Tante. Tante udah ngajarin mereka soal kriteria pasangan hidup. Kalau mereka milih yang nggak sesuai, kan, mereka juga yang jalanin. Kecuali, kecuali banget, kalau pasangan mereka itu benar-benar jahat. Misalnya lelaki yang suka mukul perempuan. Itu nggak bisa ditoleransi."

"Kalau perempuan yang suka mukul lelaki, gimana?" tanya Lita, membuat Tiara gantian menyikut temannya. Bukan berarti ia suka memukul lelaki. Hanya saja ia pernah memukul Bagus. 

"Ya, nggak boleh juga," kata Bu Ayudia. "Tetapi biasanya lelaki lebih kuat. Bisa saja dia kabur."  

"Kedengarannya seru banget obrolannya," ujar Permata yang tiba-tiba nimbrung di antara mereka. 

Jakarta Vigilante ☆ [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now