Bab 36: Hitam vs. Hitam

1.9K 180 127
                                    

--  Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, 20:00 WIB

"Cerberus, kami akan terbang ke Kepulauan Seribu. Sementara koneksi akan terputus. Aku akan kabarin kamu lagi kalau kami sudah sampai," bisik Tiara ke earpiece-nya.

"Cronus, bukan Cerberus," ralat Phillip dari tempat duduknya.

"Iya, iya, Cronus," gerutu Tiara sambil mematikan earpiece-nya.

Pak Alfred masuk ke kokpit helikopter dan menyalakan mesinnya. Tiara mengambil tempat duduk di hadapan Kapolda dan kedua anak buahnya. Meskipun mereka berpakaian orang sipil, Tiara mengamati bahwa terdapat selongsong berisi revolver di pinggang Kapolda dan kedua anak buahnya.

"Pak Kapolda, kenapa Bapak memutuskan untuk mempercayai saya?" tanya Tiara. "Saya tahu identitas Bapak, tetapi Bapak tidak mengetahui identitas saya. Bukankah itu berbahaya?"

"Saya tidak ada pilihan lain. Sejak lama saya ingin menjatuhkan wakil saya. Ini kesempatan saya untuk melakukannya," ujar Kapolda.

"Apa yang terjadi?"

"Urusan internal."

Tiara mengangguk. Toh, kalau dia butuh tahu, dia bisa menguak informasi itu dari Bagus atau Lita.

Tak lama kemudian, helikopter mendarat di pulau tak berhuni di Kepulauan Seribu. Pak Alfred mempersilakan mereka turun. Kedua anak buah Kapolda meningkatkan kesiagaan mereka dan menggenggam pistol yang diselipkan di pinggang mereka erat. Kapolda tetap terlihat tenang, namun matanya menyapu seluruh pemandangan pulau dengan thermal goggles-nya.

"Jangan terlalu naif, Nona Senja. Kalau kamu berpikir saya tidak tahu identitasmu, kamu meremehkan kepolisian," bisik Sang Kapolda ketika ia melewati Tiara.

Sang vigilante sedikit melebarkan matanya, namun ia tetap menjaga ketenangannya. "Tidak masalah, Pak. Yang penting kegiatan saya tidak dicegat."

"Tenang saja. Untuk sementara akan saya biarkan," ujar Kapolda.

Beberapa meter dari landasan helikopter, mereka tiba di reruntuhan bangunan tua di tengah pulau. Pak Alfred membawa mereka ke pintu besi yang menjadi anomali di antara keprimitifan tempat ini. Dengan sidik jari dan iris matanya, ia membuka pintu tersebut.

"Tempat apa ini?" tanya Kapolda.

"Bekas benteng zaman Belanda, properti salah satu pengusaha di Jakarta," jawab Pak Alfred.

Kapolda mengangguk. Tidak heran, untuk beroperasi sebagai vigilante pastilah membutuhkan dana yang besar. Jika tidak disokong oleh pengusaha, siapa yang sanggup bertahan?

Kedua polisi yang menemani Kapolda terlihat was-was. Mereka tercengang melihat interior bangunan yang terlihat canggih dengan berbagai teknologi yang bahkan tak lazim ditemui di Jakarta.

"Pak, tempat apa ini?" bisik salah satu polisi.

"Gimana kalau ini jebakan, Pak?" timpal polisi lainnya.

Kapolda mengangkat tangannya untuk mengisyaratkan diam. Ia mengikuti Tiara dan Pak Alfred ke dalam lift untuk turun ke penjara bawah tanah.

Di dalam dua ruang tahanan, Sujatmo Laksono dan Doni Laksono dipisahkan oleh dinding besi. Mereka tidak dapat berkomunikasi kecuali saat jendela kecil di dekat pintu dibuka untuk mengirimkan makanan. Meskipun baru ditahan beberapa minggu, perubahan terlihat pada fisik mereka. Wajah Sujatmo bertambah kerutan dan tubuhnya terlihat lebih kurus dan lemah. Sedangkan binar congkak yang biasa terlihat di sorot mata Doni berganti dengan api amarah.

Kapolda menatap mereka dengan mata elangnya. Begitu Pak Alfred membuka pintu ruang tahanan, ia segera memerintahkan kedua anak buahnya untuk memborgol keduanya. Tanpa banyak bicara, anak buah Kapolda menggiring mereka ke luar ruang tahanan menuju lift untuk dibawa ke Polda Metro Jaya.

Jakarta Vigilante ☆ [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now