{21}

1.3K 177 39
                                    

Mino menyeruput coklat panas yang baru saja dibuatnya sambil menikmati pemandangan malam kota Seoul yang ramai dari teras apartemennya. Walaupun kota Seoul tidak pernah terasa sepi, tapi setidaknya lampu-lampu yang menyala teratur menambah sedikit kesan indah di mata pemuda itu.

"Aku pulang ... "

Terdengar teriakan Seung Hoon dari pintu depan. Kebiasaan dari tiga laki-laki penghuni apartemen itu yang tidak pernah hilang. Entah apakah di apartemen ada penghuninya atau tidak, mereka akan tetap berisik seperti itu setiap kali ada yang pulang.

Mino menoleh ke arah Seung Hoon yang terlihat sedang melepas sepatunya. Alis pemuda itu sedikit terangkat melihat Seung Hoon yang telah pulang pada jam segini. Biasanya laki-laki itu pantang pulang sebelum tengah malam.

"Kau, kenapa jam segini sudah pulang?" Mino berjalan memasuki kembali apartemennya dan mendekat ke arah Seung Hoon yang baru saja mendaratkan pantatnya pada sofa ruang tamu.

Seung Hoon melirik sekilas jam dinding yang berada di depan tidak jauh darinya. Jam menunjukkan pukul delapan tepat. Ini memang sangat aneh, mengingat kebiasaannya yang tidak pernah pulang sebelum tengah malam.

"Jadwalku sedikit longgar hari ini. Mungkin aku besok juga bisa tidur sampai siang" Ujar Seung Hoon sambil melonggarkan dasinya. Dia baru saja menghadiri acara resmi yang mengharuskannya memakai pakaian formal.

"Ngomong-ngomong, kau sendiri tidak ada jadwal?"

Mino ikut mendaratkan pantatnya di samping Seung Hoon sambil tidak melepaskan cangkirnya. "Tidak, aku sedang menikmati masa-masa cutiku sebelum kembali disibukkan dengan perilisan album baru"

Seung Hoon mengangguk-angguk kecil tanda mengerti. Dia kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dan mengamati jam yang berada tidak jauh di depannya itu dengan diam. Mendengarkan suara jarum jam yang berputar tanpa henti dengan khidmat. Sepertinya ada yang janggal dari percakapan ini, tapi Seung Hoon sendiri tidak tahu apa itu.

"Oh ya Irene ... "

"AH!!!"

Mino terlonjak kaget ketika mendengar suara jeritan Seung Hoon yang tiba-tiba. Sebenarnya tadi Mino ingin membicarakan tentang Irene dengan Seung Hoon yang juga merupakan sahabatnya. Tapi, jeritan tiba-tiba dari laki-laki itu membuyarkan semua hal yang ingin Mino katakan.

"Ada apa?"

"Kau tidak menemui Irene? Bukankah kalian janjian untuk bertemu malam ini?"

Mino mengernyitkan dahinya bingung. Irene? Janjian? Sejak kapan mereka janji untuk bertemu? Mino saja bahkan belum menghubunginya seharian ini.

"Irene? Aku bahkan belum menghubunginya hari ini"

Seung Hoon tidak kalah terkejutnya. "Haa? Tapi aku tadi barusan saja mampir ke kantornya dan katanya kau mengajaknya untuk keluar. Kenapa kau ... "

Mino segera tersadar. Inilah sebab mengapa Han Bin bertingkah aneh hari ini. Mino buru-buru meletakkan cangkir coklat panasnya di meja dan buru-buru mengecek ponselnya yang tersimpan di saku celana.

Seung Hoon tanpa sadar juga mendekatkan dirinya ke arah Mino. Mengecek apa yang sedang pemuda itu lakukan. Sedangkan Mino, terlihat frustasi ketika tidak menemukan apa yang tengah dicarinya di ponsel itu.

"Ahh!! Pasti sudah dihapus!"

"Apa? Apa yang dihapus?" Seung Hoon masih tidak bisa menangkap apa yang tengah Mino lakukan.

"Han Bin, dia tadi siang tiba-tiba saja kesini. Pasti ini ada hubungannya sama dia. Tapi di ponselku sama sekali tidak ada pesan dari Irene. Dia pasti sudah menghapusnya"

Seung Hoon terdiam sejenak. Dia kemudian mengambil alih posel Mino dan mengotak-atiknya sebentar. Pengetahuannya tentang IT mungkin tidak seberapa, tapi Seung Hoon tahu pasti cara untuk mengatasi hal ini. Beberapa temannya di SMA dulu pernah mengajarinya tentang ini.

"Berhasil!" Seung Hoon menjerit pelan. Mendengar itu Mino buru-buru mendekat ke arahnya. Tampak pesan Irene yang telah dihapus dari ponsel Mino itu muncul kembali. Mino dan Seung Hoon buru-buru membacanya. Dan tak lama setelahnya kedua laki-laki itu malah saling berpandangan.

"Kantor agensi?" Seung Hoon mengernyitkan dahinya ke arah Mino meminta penjelasan. Mino seketika melebarkan kedua matanya dan berdiri dari duduknya.

"Ya Tuhan Hoon, penerangan kantor agensi biasa dipadamkan setelah jam delapan!"

Tanpa aba-aba, Mino dan Seung Hoon segera menoleh ke arah jam dinding bersamaan. Jam delapan lewat!

Mino segera berlari keluar dari apartemennya dengan diikuti oleh Seung Hoon yang sedang sibuk dengan ponselnya untuk mencari nomor Irene.


***


Sudah hampir setengah jam Irene menunggu Mino di kantor agensi pemuda itu. Dari awal Irene merasa agak bingung ketika mengetahui tempat perjanjiannya di kantor agensi ini. Tapi Irene bisa apa? Mino seharian ini belum mengabarinya. Dan ketika Mino mengajaknya bertemu, tanpa pikir panjang gadis itu segera menyetujuinya.

Irene sedang berpikir apakah harus menghubungi Mino atau tidak, ketika tiba-tiba saja lampu di lobby kantor itu padam. Irene seketika membeku. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Ini tidak benar, gadis itu ingin berlari mencari pintu keluar tapi tubuhnya membeku. Dan tak lama kemudian tangisnya pecah disertai napasnya yang mulai memburu. Tubuhnya banjir keringat dingin. Gadis itu hanya bisa terdiam di tempatnya dan menangis sesenggukan.

Tak lama setelah tangisnya pecah, gadis itu mendengar suara pintu yang sepertinya di dobrak dari luar. Dia ingin berlari ataupun menjerit pada siapapun yang telah mendobrak pintu itu. Tapi bahkan untuk melangkah saja kakinya tidak sanggup.

Sedangkan di sisi lain, Mino dan Seung Hoon segera mencari-cari dimana Irene berada. Gadis itu memiliki fobia. Bagaimana dia bisa mengatasi ketakutannya, ketika ketakutan itu datang secara tiba-tiba. Mino dan Seung Hoon hanya berharap bahwa setidaknya Irene berada di tempat yang sedikit bercahaya.

Atau tepatnya tidak!

Mereka melihat Irene yang tengah menangis sesenggukan di tempat yang sama sekali tidak terkena cahaya. Seung Hoon mengarahkan cahaya ponselnya ke arah gadis yang tengah meringkuk, memeluk kedua kakinya rapat-rapat. Sedangkan Mino, dia langsung berlari dan memeluk tubuh kaku Irene. Mengusap dan menepuk punggungnya pelan. Tapi tangis gadis itu masih tidak juga mau berhenti.

Seung Hoon segera mendekati Mino dan Irene. Seung Hoon tidak lagi bisa memeluk Irene seperti kebiasaannya saat kecil. Tapi setidaknya Seung Hoon boleh merasa lega, karena Mino yang berada di samping gadis itu.

"Irene, tenanglah. Kau akan merasakan sakit jika terus-terusan menangis" Mino tidak berhenti mengusap punggung gadis yang tengah berada dalam pelukannya itu. Sebenarnya bukan suatu masalah jika Mino menarik gadis itu pelan-pelan untuk berdiri dan segera keluar dari tempat itu, tapi Mino ingin gadis itu tenang terlebih dahulu. Mino juga berharap suatu saat Irene dapat sembuh dari rasa takutnya. Sama saja bohong jika sekarang Mino kembali menarik Irene pada zona nyamannya. Itu tidak akan membantu sama sekali bagi Irene untuk melawan rasa takutnya.

Dan entah kenapa, Mino mulai merasa tidak tenang jika mendengar tangis Irene.


***



Note : Haiii I'm back hehe

Mianhee yaaa udah gantungin kalian lama banget. Ini antara tugas yang menumpuk minta perhatian dan mager parah yang melanda wkwk. Jangan bosen-bosen ya nunggu ceritaku yg absurd abis ini. Makin lama bahasaku makin aneh dah perasaan hahaha. Komen aja yaa kalo terasa ada yang ganjel hehe.


Tenang guys, ini cerita akan selesai pada waktunya hahaha :D

LIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang