"Dulu sekali, selama masa sulit kehidupan kami, Ibuku sering menangis dengan memelukku. Yang bisa kulakukan saa itu hanya menunggu sampai tangisnya berhenti, karena aku tidak tahu harus melakukan apa." Ujar Profesor Kim dengan nada menyesal.
Senyum terukir tipis di bibir Kyungsoo ketika melihat ekspresi gusar Profesor Kim. Ia mengetahui pasti bahwa Profesor Kim yang sesungguhnya memiliki pribadi kaku. Ia pun mengerti jika kali ini dia juga merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, karena aku juga benci hal-hal dramatis. Dan ini memalukan." Tanggap Kyungsoo sembari mengalihkan pandangan dari tatapan Profesor Kim untuk menyembunyikan warna matanya yang memerah.
Sebagai seorang pria, menjadi melankolis tidak membuat Kyungsoo senang, karenanya ia selalu menghindari satu-satunya hal yang dengan mudah membuatnya menangis, yaitu melihat takdir kelam orang lain, dengan cara mengasingkan diri dari dunia, sebab penglihatannya hanya bisa melihat tragedi. Namun kehadiran Profesor Kim membuat segalanya semakin rumit, kala dia membuat dirinya mulai menangisi takdirnya sendiri.
Tangan terangkat menyentuh pipi Kyungsoo untuk membuatnya kembali menatap padanya. "Pria menangis tidak menjadikan kita seperti seorang perempuan," Ucap Profesor Kim.
"Kau pernah menangis?"
"Sering." Jawab Profesor Kim selagi pikirannya mengintip kembali lembaran masa lalu."Setelah Ayahku meninggalkan kami, aku sering menangis diam-diam dari Ibu meskipun saat itu aku sudah remaja."
Kening Kyungsoo bertaut mengisyaratkan tanya.
"Itu bukan cerita yang menyenangkan dan sudah berlalu sangat lama, Ibu dan aku sekarang sudah bahagia." Respon Profesor Kim sembari tersenyum.
Namun ekspresi murung kembali terukir di wajah Kyungsoo, bertanya-tanya, berapa banyak Ayah yang telah meninggalkan anaknya di dunia ini?
"Jangan menghindariku. " Sela Profesor Kim, menepis lamunan Kyungsoo.
Ia terdiam sembari memandang wajah Profesor Kim yang menunjukkan kesungguhannya. Lalu ia mengangguk setelahnya. Dan Profesor Kim tersenyum sumringah, senyum lebar yang menginterpretasikan kebahagiaan. Kemudian dalam diam, Kyungsoo melirik ke luar jendela kaca, melihat pada bulu-bulu hitam yang berjatuhan dari atas, lalu ia beralih menatap gunting hitam di meja dekat jendela,
Sebentar saja.
.
—*—
.
Ketika malam mulai larut, semua kenangan lalu ikut turut, menyisakan serpihan buram yang carut marut, sementara lengan panjang merengkuh posesif mencoba menghalau segala kalut. Pelukan erat membawa Kyungsoo tenggelam ke dada kerasnya, menikmati saat-saat di mana hanya ada aku dan dia. Sepakat untuk apatis pada segala sesuatu selain mereka, dan meninggalkan semua beban di belakang sana. Ranjang tua yang sempit berderit kala dua pasang kaki berbelit saling menumpu, bergerak mencari kehangatan pada kulit satu sama lain. Dada bergetar ketika terkekeh, menertawakan kekonyolan tingkah mereka sendiri, sebelum terdengar suara ketukan pintu, dan helaan napas terusik terlepas dari bibir Kim Jongin.
"Itu Minseok." Ujar Kyungsoo. "Dia pasti khawatir."
Kyungsoo hendak melepaskan lingkaran lengan Profesor Kim dari tubuhnya, namun Profesor Kim menahannya. "Aku yang akan membukanya, dan menjelaskan padanya." Ujarnya, kemudian melepaskan tubuh Kyungsoo.
"Kenapa?" Kyungsoo bangun mengikuti Profesor Kim yang turun dari ranjang lalu berjalan ke arah pintu.
"Karena aku merasa telah memperdayanya. Jika aku yang menjelaskannya langung, kurasa dia akan memaafkanku." Jawabnya sebelum kemudian membuka pintu.
YOU ARE READING
Red VOID [ Kaisoo ]
Fanfiction[ KaiSoo ] Menurut mitologi, benang merah tak terlihat menghubungkan mereka yang ditakdirkan untuk bertemu, terlepas dari waktu, tempat, dan keadaan. Benang merah dapat meregang atau kusut, namun tak akan pernah bisa putus. Profesor Kim hanyalah ora...
CH6/Part 5 - For a While
Start from the beginning
![Red VOID [ Kaisoo ]](https://img.wattpad.com/cover/110899759-64-k649812.jpg)