Tiba-tiba, telepon rumah berdering. Lavender memperhatikan raut Camellya yang bingung saat mendengarkan apa pun yang dikatakan si penelepon. Tidak lama kemudian, wanita itu meraih buku catatannya dan menuliskan sesuatu di sana. Setelah mengatakan 'iya' dan 'terima kasih', Camellya menutup telepon lantas menatap ke arah Lavender beberapa saat.

"Ada apa?" tanya Lavender.

"Ada pihak sekolah yang menelepon, dan mereka memintamu untuk masuk ke sana," jawabnya.

Hal aneh macam apa itu? "Meminta?" tanya Lavender memastikan.

Camellya mengangguk, raut wajahnya agak rumit. Sebelum menjawab pertanyaan Lavender, dia sudah lebih dulu berdiri. "Ibu harus pergi sekarang, orang itu ingin bertemu."

"Sekarang?" Lavender melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. "Aku ikut."

"Tidak," tolak Camellya. "Aku tidak akan lama, tunggu saja di rumah."

Lavender melirik ibunya dengan curiga. "Apakah itu benar-benar seseorang dari pihak sekolah?" Ibunya tidak diam-diam akan pergi berkencan, bukan?

Camellya tidak memperhatikan ekspresi ragu Lavender, hanya masuk ke dalam kamarnya dan keluar sambil membawa mantel. Setelah mencium puncak kepala Lavender, dia berlari keluar dan tidak lama kemudian suara dengungan mesin mobil terdengar. Lavender akhirnya meraih keripik kentangnya yang belum habis dan memutuskan untuk menikmati sisa malam tenangnya sebelum dia kembali masuk sekolah baru.

* * * * *

"Lavender!"

Itu adalah panggilan ke delapan belas Camellya.

Seperti biasa, pagi hari adalah neraka untuk seorang Lavender. Tadi malam dia tidur terlambat karena menunggu Camellya pulang, tapi tidak juga kembali sampai Lavender masuk ke kamar pada pukul sebelas malam.

"Lavender!"

Sembilan belas.

"Aku bangun! Aku datang, Sayang!" teriak Lavender dengan suara serak.

Menyibak selimut dengan malas, Lavender melangkah terhuyung membuka pintu. Lavender tahu penampilannya pasti sangat mengerikan saat ini, tapi siapa yang peduli? Tidak ada siapa pun di rumah ini selain dia dan ibunya.

"Lavender?"

"Aku sudah datang, Ibu," jawab Lavender dengan mata setengah terbuka sembari berjalan ke arah dapur. Sungguh suatu misteri bahwa dia tidak pernah menabrak tembok sekali pun setelah melakukan itu selama bertahun-tahun.

"Lavender?"

Kali ini Lavender tidak menjawab lagi. Ibunya sudah jelas-jelas melihatnya datang, kenapa harus memanggil lagi?

"Lavender?!"

Ya ampun! Lavender membuka mata lebar-lebar. "Ibu, ada apa-oh!"

Lavender tahu mengapa ibunya sedari tadi berusaha memanggilnya untuk sadar. Dia melihat ada seseorang di sana, duduk di seberang meja makan dengan teh panas tersaji di depannya. Pria itu sepertinya berusia awal tiga puluhan dengan penampilan formal yang gayanya agak unik untuk mode sekarang, rambut yang disisir rapi, dan juga ... tampan. Lavender sama sekali tidak kenal siapa orang ini, ia jelas bukan kerabat mereka karena ibunya sudah yatim piatu sejak kecil.

Mata tamu itu menatap tenang ke arah Lavender, walau sebelumnya Lavender sempat melihat ia mengangkat alis ke arah rambutnya yang jelas-jelas terlihat seperti sarang gagak.

"Lavender, sebaiknya kau sedikit membersihkan diri dulu."

Lavender tersadar karena suara ibunya, "Ah, baiklah." Dia langsung lari ke kamar mandi dan merapikan rambutnya dengan cepat sebelum kembali ke meja makan.

The Heritage of Throne ✓Where stories live. Discover now