Dua

26 6 1
                                    

Nadine melambaikan tangan pada mobil hitam yang ditumpangi Devi. Setelah selesai membicarakan soal bisnis, Devi memutuskan untuk pulang sementara Nadine memilih untuk pergi ke pasar Tanah abang untuk melihat-lihat kain dan pernak-pernik.

Ia berjalan ke halte busway yang berada 100 meter dari tempatnya. Tak seperti kebanyakan perempuan yang memilih mengendarai kendaraan pribadi untuk pergi kemana pun, Nadine lebih suka berpergian menggunakan transportasi umum. Bukan apa-apa hanya saja lalulintas Jakarta yang sebentar-sebentar macet membuatnya malas memba2a kendaraan pribadi.

"Nadine!" Seru seseorang dari belakang ketika ia berjalan menuju halte busway.

Nadine menghentikan langkahnya, lalu menoleh kearah suara, ia melihat lelaki yang mengenakan kaos putih dengan kemeja kotak-kotak coklat menghampirinya, laki-laki itu tersenyum cerah.

"Dimas?" Seru Nadine, ia tidak percaya bisa betemu dengan laki-laki itu disini.

"Hey nad, habis darimana?"

"Habis ngopi, lo sendiri darimana? Kebetulan banget kita bisa ketemu disini."

"Saya, biasalah cari-cari inspirasi.." kata Dimas sambil mengacungkan kamera dslr yang terkalung di lehernya.

"Ohh gitu, tumben banget seorang Dimas mencari inspirasi, biasanya inspirasi yang cari-cari lo.." gurau Nadine.

Laki-laki tinggi itu tertawa hambar.

Nadine melanjutkan perjalanannya, disusul laki-laki itu, mereka berjalan berdampingan sekarang.

"Oh ya mau lanjut kemana?" Tanya Dimas.

"Gue mau ke Tanah abang, biasalah lihat-lihat kain sama pernak-pernik, lo mau ikut? Siapa tahu disana ketemu bidadari cantik.."

"Nyari bidadari ngga perlu jauh-jauh ke tanah abang, disini juga ada bidadari cantik." Kata Dimas, melirik gadis yang berada di sebelahnya.

Nadine melihat Dimas dengan kening berkerut heran.
"Gue maksudnya?" Tanyanya.

Dimas menggeleng. "Bukan, tapi si mbo yang lagi jualan pecel." katanya sambil menunjuk mbo penjual pecel yang ada di ujung jalan dengan dagunya.

Nadine mendengus lalu tertawa kecil. Ia melihat si mbo penjual pecel itu sedang melayani seorang pembeli, si mbo itu tersenyum sambil memberikan bungkusan pecel pada si pembeli.

Ia melihat ke samping, Dimas? Laki-laki itu tidak ada disampingnya, kemana dia? Ia menoleh kebelakang dan mendapati laki-laki itu sedang berdiri membidikan kameranya tepat kearahnya.

Ia menghampiri laki-laki itu.

"Kamu potret saya ya?" Tanyanya. "Coba lihat!"

"Sejak kapan kamu bicara kamu saya? Bukan nadine banget.." komentarnya setelah gadis itu mendekat.

"Kan sekarang saya lagi jalan sama seorang Dimas yang formal, serius, dan dewasa jadi harus menyesuaikan.." gurau gadis itu.

Dimas mendengus. "Dasar.." gumamnya disusul senyum tipis.

"Coba lihat hasilnya?" Pinta gadis itu. Kini mereka berdiri sejajar walau gadis itu hanya sepundaknya. Memandangi kamera dslr miliknya.

"Nih, cantik kan?" Ia menunjukan photo si mbo penjual pecel yang duduk di sudut jalan sedang tersenyum memberikan bungkusan pecel pada seorang pembeli dengan latar jembatan penyebrangan, pejalan kaki yang berlalulalang, dan pepohonan yang berderet.

Nadine membulatkan matanya, hasil photo laki-laki itu sungguh bagus. "Wow, ternyata lo emang jago photography ya, bukan ikut-ikutan trend.." komentarnya.

Ia mendengus. "Dasar.."

"Si mbo itu artistik ya? Like a history, apalagi ditambah pakaian si mbo yang pakai kebaya dan samping terus rambutnya di sanggul gitu, satu hal yang langka dan jarang banget ditemui di ibu kota kaya sekarang ini." Tambahnya. Masih memandangi photo itu.

Dimas tersenyum tipis, baru kali pertama ia mendengar seorang gadis berkomentar seperti itu, biasanya seseorang hanya memuji hasil karyanya dengan kata-kata pujian yang sudah sering dan bahkan bisa dibilang bukan pujian itu yang ingin ia dengar. Komentar gadis ini adalah hal yang ingin ia dengar selama ini.

"Kalau di edit dengan effect vintage pasti jadinya lebih artistik banget deh.." saran gadis itu.

Dimas menganggukan kepala tanda setuju. "Boleh juga idenya, nanti saya ikuti saran kamu deh." Katanya, ia melihat Nadine yang masih memandangi kameranya.

"Saya ngga nyangka kamu bisa komentar seperti tadi, kebanyakan orang menilai karya saya lewat saya, bukan photonya atau seseorang dalam photo itu." Katanya. Ia menghela napas lalu memandangi sekeliling.
"Mereka hanya memuji dan melemparkan sanjungan-sanjungan yang ngga menarik untuk di dengar." Lanjutnya

Nadine mengangkat kepalanya dan menengadah melihat laki-laki itu.
"Semua orang punya sisi yang berbeda dalam melihat sesuatu, mata kita sama tapi pandangan kita yang berbeda, like an opinion in our mind." Katanya disusul senyum tipis.

Ia melihat laki-laki itu menganggukan kepala lalu tersenyum tipis melihatnya. Mereka saling berpandangan beberapa detik, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, sampai dering ponselnya menyadarkan mereka berdua.

"Ohh sebentar ya!" Serunya pada Dimas. Ia buru-buru merogoh tas ranselnya dan mengambil benda kecil yang masih berdering. Ia membuka flip ponselnya dan mebempelkannya ditelinga.

"Hallo..!" Serunya. "Iya bu, aku tahu ko, sebentar lagi aku pulang.. Baju? Baju yang mana?... Kan nikahan sama acara lamaran bajunya udah dari woredrobe.. Ohh baju seragam buat bridesmade, aku udah urus semuanya sih tapi belum aku check lagi soalnya aku sibuk nyiapin store baru hehe.." ia mengernyitkan alis mendengar seruan ibunya diseberang sana. "Iya bu.. aku nanti telpon kang Ari, ibu tenang aja semuanya pasti beres ko, udah dulu ya bu aku mau jalan pulang nih, walaikum salam.." Ia menghembuskan napas, lalu memasukan kembali ponselnya kedalam tas. Ia mendapati Dimas yang sedang melihatnya dengan kening berkerut.

"Jadi kamu mau nikah?" Tanya laki-laki itu spontan.

Nadine tertawa, lalu menggelengkan kepala. "Bukan, bukan gue yang nikah tapi ka Galih." jawabnya.

Oh syukurlah.. Batin Dimas.

"Oh ya.. maaf banget gue harus pulang sekarang juga, orang rumah lagi sibuk banget nyiapin berbagai hal dari A sampai Z jadi gue disuruh pulang cepat, sorry ya kita ngga jadi ke tanah abang.." katanya menyesal.

"It's ok, masih ada lain waktu ko.."

"Oh atau, gimana kalau main ke rumah gue aja? Siapa tahu di perjalanan lo bisa mendapat inspirasi yang artistik kaya tadi.."

Dimas berpikir sejenak, ia tidak pernah ditawari main ke rumah seorang gadis apalagi gadis itu sendiri yang menawarkannya.

"Boleh, tapi sediakan makanan yang banyak ya.." katanya sedikit bergurau.

"Don't worry!" Seru gadis itu disusul senyum lebar yang memperlihatkan deretan giginya yang rapih.

To be continue

Gimana part ini?

Jangan lupa Vote dan komen ya

Trims sudah baca

I Found YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang