Part 16

123 11 0
                                    

Perlahan danchi (rumah susun) tempat dia tinggal menjadi sepi. Satu persatu mereka pindah ke tempat lebih nyaman dan layak. Tinggalah Amaya dan keluarga Yamada. Kabarnya Yamada pun akan segera pindah ke tengah kota. Tinggallah Amaya dan anaknya tinggal di danchi itu.

"Ibu, sekarang sepi ya." Akira memeluk ibunya menatap jendela yang mengarah ke lapangan depan danchi. Dulu lapangan itu ramai oleh anak-anak yang bermain tiap sore. Kini sepi.

Amaya tidak menyahut ucapan anaknya. Tangannya sibuk membelai kepala Akira seraya matanya ikut memandang lapangan sepi.

"Aku tidak punya teman lagi," lanjut Akira sedih.

"Ada Ibu."

"Tapi Ibu tidak bisa bermain bola." Akira menengadahkan kepalanya menatap lekat wajah Amaya.

"Kata siapa? Kau tidak pernah saja melihat Ibu bermain bola. Kalau kau lihat, pasti akan terkejut." Amaya mengalihkan kesedihan Akira ke hal lain.

"Ibu jago main bola?" tanya Akira terkagum.

"Kau akan terkejut dengan ketidakbisaan Ibu." Amaya tertawa lepas melihat ekspresi kagum anaknya yang kemudian berubah datar.

"Aku kira hebat. Ibu bisa saja." Akira ikut tertawa lepas.

"Ayo!" ajak Amaya menarik lembut tangan anaknya.

"Ke mana?" tanya Akira bingung.

"Main bola. Meskipun Ibu tidak bisa, kau akan terlihat hebat." Amaya mengambil bola kaki yang sudah mulai lusuh warnanya.

Akira mengangguk lantas mengikuti Ibunya yang sudah dulu keluar rumah.

Sore itu langit yang memerah menjadikan kenangan indah antara anak dan ibu. Mereka menciptakan kebahagiaan sendiri untuk bertahan hidup. Amaya mengejar Akira yang menggiring bola ke gawangnya. Seringkali mereka hanya saling kejar, lepaskan tawa.

"Sensei!" panggil Mia yang baru saja masuk.

Matsumoto tersadar dari kenangan nostalgianya. "Iya."

"Kyoko-san pergi. Pamit ke Sensei?" tanya Mia bingung. Kepalanya berputar menatap Matsumoto dan Kyoko yang sudah jauh, bergantian.

"Kyoko-san?" Matsumoto menatap kursi kosong di depannya. Sudah tidak ada pasiennya di sana.

"Tadi saya lihat dia keluar ruangan lantas jalan cepat begitu saja," jelas Mia.

"Aku terhanyut dengan kenangan masa kecil. Apa mungkin aku rindu Ibu?" lirih Matsumoto menunduk. Dia meraih buku catatan lantas mengambil sebuah foto yang diselipkan di dalamnya. Cukup lama Matsumoto menatap foto itu. Tergambar seorang wanita dengan balutan yukata hitam dengan motif bunga putih, merah jambu dan ungu muda. Cantik sekali.

Melihat Matsumoto yang tidak merespon kepergian pasiennya, membuat Mia kembali menutup pintu ruangan lantas pergi ke kantin rumah sakit.

Matsumoto bangkit dari tempat duduknya setelah memasukkan kembali foto ke dalam buku catatan. Dia melepaskan jas dokternya lalu keluar dari ruangan menuju parkiran.

Di tengah jalan, Matsumoto melihat Kyoko tengah berjalan gontai di trotoar. Maksud hati ingin menghentikan mobilnya dan mengantarkan pulang namun ada rasa malu pada dirinya sendiri. Mobil Matsumoto melaju begitu saja melewati gadis itu. Berjarak beberapa meter, dia menghentikan mobilnya lalu turun. Matsumoto berjalan mendekati gadis itu.

"Sensei." Kyoko sedikit terkejut melihat lelaki di depannya.

"Kenapa pergi begitu saja?" tanya Matsumoto tanpa basa-basi.

"Maaf Sensei. Saya-saya-saya," ucap Kyoko terbata-bata.

"Sudah-sudah. Mau ikut saya?"

"Ke mana?"

Matsumoto melengkungkan senyumnya. "Ayo, ikut saja!" ajak Matsumoto seraya berbalik badan dan mendekati mobilnya. "Silakan!" Matsumoto membukakan pintu untuk Kyoko.

Gadis itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

Matsumoto pun masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya. "Kita berangkat, ya."

Kyoko mengangguk.

****

Sesampainya di pemakaman, Kyoko mengikuti psikiater muda itu dari belakang. Dia bingung ketika menyadari bahwa dirinya baru saja diajak ke pemakaman. Mereka berhenti di depan makam yang bertuliskan nama sebuah keluarga. Kyoko menatap lekat lelaki di sampingnya yang tengah memejamkan mata seraya merapatkan kedua telapak tangannya. Begitu khusyuk.

"Ini makam orangtua saya," jelas Matsumoto sesaat selesai berdoa, "Ibu pernah cerita bahwa ketika remaja ingin sekali menjadi maiko (geisha muda biasanya ketika remaja), tetapi kedua orangtuanya tidak mengizinkan. Sampai pada akhirnya Ibu dijodohkan dengan ayah yang kala itu hanya bekerja sebagai tour guide lepas dengan penghasilan tidak menentu. Setelah menikah, ayah ikut ke Fukuoka untuk bekerja bersama temannya. Ayah ingin mengajak Ibu karena di sana biaya hidup murah tapi Ibu tengah mengandung. Akhirnya ayah berangkat sendiri dan meninggalkan Ibu sendiri," lanjutnya.

"Tapi kembali, kan?" tanya Kyoko penasaran.

Matsumoto mengangguk. "Kepulangan ayah membawa kebahagiaan untuk kami. Cukup lama ayah di rumah, mungkin ada satu dua tahun dan kembali menjadi tour guide. Entah apa alasannya tidak ingin kembali ke Fukuoka. Bagi kami tidak penting. Terpenting dia ada di tengah-tengah kami."

Kyoko menunduk. Dia terbayang masa kecilnya yang suram.

"Tapi ketika saya masuk usia tiga tahun, ayah kembali ke Fukuoka. Sejak itu, saya tak pernah lagi melihat batang hidungnya. Setiap saya bertanya pada Ibu, dia selalu menjawab dengan senyuman dan mengalihkan pertanyaannya. Suatu hari saya melihat Ibu kedatangan seseorang dan membuat Ibu menangis. Sejak hari itu Ibu menjadi buruh cuci untuk memberi saya makan. Dan ..." Matsumoto berat untuk meneruskannya.

"Dan apa, Sensei?" Kyoko menatap lekat wajah lelaki di sampingnya yang sudah mulai memerah. Matanya berkaca-kaca.

"Ibu jatuh sakit. Tanpa berkata apapun, Ibu meninggalkan saya dalam kesendirian." Matsumoto menunduk dalam.

Tangan Kyoko ingin menyentuh punggung Matsumoto namun ada keraguan di dalam dadanya. Akhirnya diurungkan. "Lalu, Sensei tinggal dengan siapa?"

"Ada satu keluarga yang menempati tempat keluarga Yamada. Mereka baru saja tiba dan melihat saya menangis di depan tubuh Ibu yang kaku. Mereka yang membantu pemakaman Ibu dan menjadikan saya seperti anak kandungnya. Mereka yang menyekolahkan saya."

"Kalau boleh tahu, Sensei dulu tinggal di mana?" Keinginan tahu Kyoko tak tertahankan.

"Tokyo."

Kyoko mengangguk pelan berulangkali.

"Sudah cukup. Mari pulang!" ajak Matsumoto. Kini wajahnya tak selesu sebelumnya.

Kyoko mengikuti lelaki itu dari belakang seraya menyapu seluruh komplek pemakaman itu.

Yukata adalah kimono santai yang dibuat dari kain katun tipis tanpa pelapis untuk kesempatan santai di musim panas.

Another MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang