Part 13

137 11 0
                                    


Dua puluh tahun sebelumnya ...

Seorang anak perempuan tengah bermain dengan bonekanya. Dia bermain sendiri meskipun teman-temanya tengah bermain bersama di lapangan yang sama. Anak itu tidak ikut serta sebab ini hukuman untuknya. Ini adalah kesekian kalinya dia bermain sendiri. Ibunya tidak mengizinkannya untuk bersenang-senang bersama teman-temannya.

"Kyoko!!!" teriak Shoko ketika melihat anaknya duduk di tepi lapangan. Rumah mereka berada di pinggir lapangan.

Kyoko tersentak mendengar teriakan ibunya. Dia bergegas menghampiri ibunya sebelum mendapatkan hukuman tambahan lagi.

"Ibu sudah bilang, kau di rumah. Siapa yang memberi izin untuk bermain?" tanya Shoko dengan nada kesal.

Kyoko menunduk. Dia takut melihat wajah ibunya ketika marah.

"Kyoko, jawab! Ibu bertanya padamu!" Shoko masih saja memakai nada tinggi. Tentu membuat anaknya ketakutan.

Tubuh Kyoko bergetar. Dia menangis seraya memeluk erat bonekanya.

"Ibu tidak memintamu untuk menangis," Shoko kesal mendengar tangisan anaknya, "diam, Kyoko!" sentak Shoko membuat tangisan anak itu semakin kencang, "Ibu bilang DIAM!" Kesabaran Shoko tampaknya sudah habis. Dia menarik anaknya dengan kasar. Tetangga sudah melihat kekasaran seorang ibu kepada anak kecil sedari tadi, bahkan sudah menjadi pemandangan yang lumrah saking seringnya. Teman-teman Kyoko berlarian ke arah orangtuanya ketika mendengar Shoko berteriak. Mereka ketakutan.

Shoko memang jarang berinteraksi dengan tetangganya karena sibuk bekerja. Dia termasuk geisha yang diandalkan di okiya tempat dia bekerja. Terlebih lagi Shoko pandai membuat teh dan melayani tamu. Sikapnya ketika menjadi geisha sangat bertolakbelakang dengan kehidupan sehari-harinya. Dia tidak pernah menyiapkan makanan untuk anaknya. Kyoko kerap membuat makan sendiri di usia lima tahun. Terkadang jika Shoko tidak ada di rumah, tetangga bergantian memberi makanan untuk Kyoko. Mereka merasa iba dengan anak itu. Bagaimanapun juga mereka adalah seorang ibu yang melakukan perannya. Anak-anaknya seusia dengan Kyoko. Mereka membayangkan jika anaknya di posisi Kyoko.

Pernah suatu ketika Kyoko tertidur di rumah tetangga samping rumahnya. Shoko kesal melihat anak itu tidak ada di rumah. Dia mencari Kyoko hingga menemukannya di rumah samping—tengah tertidur pulas. Shoko kesal kepada tetangganya karena telah mengambil anaknya tanpa izin. Shoko tak segan-segan memaki tetangganya dengan kasar. Seringkali Shoko membangunkan Kyoko secara paksa untuk pulang. Anak itu menjadi orang bingung keesokan harinya dengan tangan dan kaki membiru.

"Kyoko kenapa tanganmu biru?" tanya teman dekat rumah—yang satu sekolah dengannya, Erin.

Kyoko yang sedari tadi menunduk menatapi langkahnya yang lemas, menoleh ke arah temannya. "Kenapa?" Sepertinya anak itu tidak mendengar pertanyaan temannya.

"Kenapa tanganmu biru?" Erin mengulang pertanyaannya.

Kyoko segera menyembunyikan tangannya. "Ah, tidak. Kemarin aku terpeleset di kamar mandi," jawabnya dengan wajah pucat.

Erin merangkul Kyoko. "Lain kali lebih hati-hati!"

"Aduh," lirih Kyoko ketika tangan Erin merangkul bahunya seraya tersenyum meringis.

Erin menemukan kejanggalan dengan bahu temannya. "Bahumu sakit?" tanyanya seraya melepaskan rangkulannya.

"Hahaha ...," Kyoko memaksa untuk menunjukkan baik-baik saja, "karena kepeleset membuat tubuhku sakit semua," jawabnya lirih.

Tanpa Kyoko berbohong pun, sebenarnya Erin sudah mengetahui apa yang terjadi dengan temannya karena mereka tinggal bersebelahan. Di malam hari, dia sering mendengar Kyoko menangis. Dan, sering melihat tangan temannya membiru bahkan bengkak.

****

Pagi itu sebelum Shoko pergi ke Okiya, dia meninggalkan pesan pada Kyoko. "Kyoko, rapihkan rumah!" titah Shoko sinis seraya memoles wajahnya.

Tak ada tanggapan dari Kyoko. Anak itu terus bermain dengan boneka. Hal itu membuat Shoko kesal. "Kyoko, dengar tidak?" pekiknya.

"Hai," jawab Kyoko malas. Setelah Shoko meninggalkan rumah, Kyoko kedatangan Erin dan mengajaknya bermain di pekarangan rumahnya. Bahkan keluarga itu memberikan kue buatan Tsubaki, ibunya Erin. Kyoko suka sekali dengan kue coklat. Kyoko suka manis.

Hingga petang anak itu bermain di rumah Erin sampai lupa—mungkin tidak ingat dengan perintah ibunya. Anak itu tertawa lepas jika tidak di rumahnya. Dia seperti selayaknya anak-anak.

Setibanya Shoko di rumah, keesokan harinya. Shoko tidak pulang tadi malam. Kyoko kembali menjadi sasaran empuk Shoko. "Kyoko, kenapa rumah belum dirapihkan?" pekik Shoko dari dapur ketika melihat rumah berantakan.

Kyoko bergeming mendengar teriakan ibunya.

"KYOKO!!!" teriak Shoko lagi, kini lebih kencang.

Kyoko terkejut mendengar teriakan ibunya yang semakin kencang. Anak itu yang sedari tadi tengah menggambar di kamarnya, kini menunduk ketakutan. Hentakan kaki ibunya terdengar ke arah kamarnya. Semakin dia ketakutan, hentakan itu semakin terdengar kencang. Dia menangis.

"KYOKO!!!" teriak Shoko ketika membuka pintu kamar anak itu. Dia mendapati anaknya tengah memeluk kedua lututnya di atas kursi belajarnya. "Kyoko!!!" Shoko menarik rambut anaknya dengan kasar hingga anak itu hampir terjengkang ke belakang. "Jangan diam saja kalau dipanggil!"

Kyoko tidak menjawab. Anak itu terisak. Wajahnya sudah sembab. "Aku salah apa?" lirihnya.

"Salah apa?" Shoko semakin kesal mendengar pertanyaan anaknya, "kenapa rumah berantakan? Apalagi dapur. Kau mau menghancurkan rumahku?" tanya Shoko geram. Tangannya belum lepas dari rambut Kyoko.

"Aw sakit, Ibu. Lepaskan kumohon!" pinta Kyoko seraya memegang kepalanya yang sudah mulai perih.

"Jawab dulu jika ingin dilepaskan!"

"Maaf, Ibu." Hanya itu yang bisa Kyoko katakan. "Ibu tidak memintaku untuk merapihkan."

"Alasan macam apa itu?" Shoko terkejut mendengar jawaban dari anaknya, "jelas-jelas tadi pagi sudah aku katakan untuk merapihkan rumah."

"Seingatku, Ibu tidak pernah meminta itu. Aku juga baru pulang sekolah." Kyoko tidak berbohong. Dia memang tidak pernah mendengar permintaan itu. Ingatannya hilang dari bangun tidur hingga menjelang siang. Dia hanya ingat ketika bermain di perkarangan rumah Erin dan pergi sekolah tadi pagi.

Nampaknya Shoko tidak puas dengan pembelaan Kyoko. Dia tidak ingin disalahkan. Dia ingin kemarahannya terlampiaskan karena kesalahan anak itu. Terpaksa dia melepaskan tangannya dari rambut Kyoko lantas keluar kamar.

Kyoko masih terisak di lantai kamar. Kedua tangannya memegang erat kepala yang sudah perih. Beberapa helai rambutnya berserak di lantai.

"Kau tidak boleh makan malam, anak nakal!!!" teriak Shoko disusuli dengan suara pintu dibanting.

Kyoko terus menangis hingga tak tertahankan lagi. Dia tidak peduli jika tangisannya mengganggu ibunya. "Salahku apa?" lirihnya.


Another MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang