8 : Suara Malaikat

Start from the beginning
                                    

Nah, kan? Memang dia. Bodo amat! Nggak bakalan aku baca. Naya memasukkan ponselnya lagi ke dalam saku jas dan beranjak mengikuti Dini dan Eli keluar kelas.

Suasana kantin sangat ramai seperti biasanya. Hara dan Eli langsung menuju kedai makanan, sedangkan Naya dan Dini mencari tempat duduk.

"Eh, bentar lagi festival sekolah, lho," kata Dini setelah mereka mendapatkan tempat duduk di pojok belakang.

"Iya, klub paduan suara juga udah mulai merancang lagu-lagu apa aja yang nanti dipentaskan. Kayaknya nanti sepulang sekolah ada pertemuan buat membahas itu, kemungkinan besar sih, kelas sepuluh yang tampil," ujar Naya.

"Katanya, festival sekolah Saint Sirius tuh acara diesnatalis sekolah yang paling besar dan meriah di kota ini. Aku udah nggak sabar melihat pertunjukkan kembang api. Fenomenal banget, Nay."

Naya mengangguk, "Aku juga. Meskipun festival sekolah tahun-tahun lalu dibuka untuk umum, aku belum pernah mengunjunginya."

"Sama, Nay. Dan tahun ini kita malah terlibat langsung di festival ini, rasanya nggak nyangka aja. Untung sekolah ini punya program beasiswa."

"Iya, Din. Kalau enggak, kita juga nggak bakal bisa sekolah di sini."

"Ngomongin apa, sih?" Eli muncul dengan nampan yang berisi semangkuk bakso dan es teh, kemudian disusul Hara yang di tangannya sudah ada sepiring gado-gado dan segelas jus jeruk di tangan lainnya.

"Ah, bukan apa-apa. Cuma ngomongin festival sekolah nanti," ujar Dini.

"Festival sekolah? Oh iya, klub teater juga udah mulai latihan, tuh. Kayaknya mau menampilkan kisah epik Ramayana. Jadi puncak acara, sih, kayaknya nanti juga aku bakalan sibuk," kata Eli yang kemudian menyeruput es tehnya.

"Klub jurnalistik juga bakalan sibuk nih, nyari bahan buat majalah sekolah edisi diesnatalis. Dan pasti yang paling sibuk anak-anak kelas sepuluh. Mana minggu depan harus ikut diklat lagi," Hara mencebikkan bibirnya ke bawah.

"Nah." Dini menepuk tangannya sekali, seakan ucapan Hara mengingatkannya sesuatu. "Minggu depan aku juga ada diklat anggota baru di klub voli."

"Aku malah nggak tahu klub paduan suara ada diklat atau enggak. Belum ada pengumuman," ujar Naya.

"Ngomong-ngomong, kalian nggak beli apa gitu? Aku jadi nggak enak selalu minta kalian menemaniku dan Eli sarapan," ujar Hara.

Dini mengibaskan tangannya. "Alah, Ra, biasa aja kali. Aku sama Naya nyantai, kok."

Naya mengangguk, "Iya, Ra. Santai aja."

Sedetik kemudian perhatian mereka berempat teralihkan karena mereka mendengar beberapa cewek kelas X yang duduk di samping mereka heboh menyebut dua buah nama.

"Itu yang namanya kak Elang."

"Kyaa, cakep."

"Itu kak Ares, yang berkacamata. Ganteng, ya?"

"Kak Ares cool banget, sih."

Naya, Dini, Eli, dan Hara bergantian saling berpandangan, lalu perhatian mereka beralih kepada kedua sosok yang baru saja masuk ke kantin. Eli hampir tersedak kuah bakso. Naya praktis memalingkan muka dan menyembunyikan wajah dengan tangannya.

Dini tersenyum, "Dua pangeran barengan masuk kantin, guys. Pantes aja cewek-cewek polos itu pada heboh."

"Baru pertama kali ini aku melihat mereka barengan. Apa mereka sering bareng?" pertanyaan Eli diikuti gelengan Hara.

Naya merasakan jantungnya berdetak cepat. Ia takut Elang melihatnya dan marah karena pesan yang dikirim Elang tidak ia balas.

Duh, ngapain kak Elang ke sini, sih? Gimana kalau aku dipermalukan nanti?

Jewel In The King's HeartWhere stories live. Discover now