Bab 20

27K 3.5K 78
                                    

“Tolong sampaikan sekali lagi, Saya benar-benar ingin bertemu dengan Kakak Saya.”

“Maaf Bu. Tapi tahanan yang Ibu maksud tidak ingin bertemu.”

Aku mendengus keras. Kak Fandi ternyata serius dengan ucapannya kemarin. “Ada yang ingin Saya sampaikan. Dan ini penting.”

“Maaf Bu. Tadi Saya juga sudah menyampaikan seperti yang Ibu katakan.”

Aku menggigit bibir bawahku sangat keras menahan kesal. Selanjutnya aku menghela napas, sambil menjulurkan wadah makanan ke petugas, “kalau begitu bisa titip ini. Dan katakan padanya aku akan kembali lagi esok.”

Petugas itu mengangguk, aku mengucapkan terima kasih sebelum pergi dari sana.

Pulang dengan perasaan berkecamuk yang menghantam, ditambah tadi pagi Azka hanya diam saja saat aku meminta izin akan menemui Kak Fandi.

Sampai di rumah aku langsung menuju kamar. Setelah membersihkan diri aku membuka sedikit horden lalu duduk di kursi yang mengarah ke balkon. Memandang menjurus, suasana begitu senyap seperti biasanya. Ditambah lagi saat ini Bunda sedang ke yayasan.

Suasana yang begitu tenang ini berbanding terbalik dengan otakku yang terus memutar memikirkan  bagaimana caranya agar Kak Fandi mau menemuiku. Rasa khawatirku tak berkurang malah semakin menumpuk.

Mataku memejam berusaha untuk beristirahat sejenak ketika dengan sengaja aku melingkup ke bagian perutku yang sudah mulai menonjol, meminta maaf pada bayiku karena akhir-akhir ini fokusku malah ke yang lain. 

Entah berapa lama aku tertidur dan tersentak saat mendengar ada seseorang yang membuka pintu kamar. Kepalaku serta merta menoleh, Azka disana menatapku sekilas sebelum meletakkan tasnya.

Aku mengucek mataku melirik ke arah jam dinding yang masih menunjukkan pukul empat sore, Azka pulang lebih awal sepertinya. Berdiri melangkah mendekatinya, namun Azka seolah tak menangkap maksudku dan beralih ke walk in closet.

Langkahku terus mengekor. Hingga Azka sedikit tersentak saat aku menarik lengannya. Tanpa diperintah aku membantunya melepas dasi yang melekat di kerah kemejanya.

“Kak Fandi menolak kutemui. Tapi besok aku akan temui Kak Fandi lagi.”

Dari sudut mataku bisa melihat bibir Azka yang mengatup rapat. Ekspresinya tampak sangat datar, tak ada persetujuan ataupun argumen lainnya.

Aku menghela napas. “Kamu membuatku benar-benar seperti istri yang tidak berbakti Azka.”

“Kalau begitu berbaktilah.”

Kepalaku mendongak menatapnya getir seraya menggeleng perlahan. “Hanya untuk kali ini. Aku nggak bisa. Tapi aku janji untuk yang lainnya aku akan mematuhimu.”

Mata Azka mengerjap sekali, “kamu selalu begitu,” katanya sambil mengecup keningku. Bukan, ini tidak seperti kecupan hangat yang selalu ia berikan, ini seperti pembuktian kalau ia tetap berlaku sebagai suami yang semestinya sedangkan aku hanyalah istri pembangkang. “Keluar dulu, aku mau mandi.”

Gerakan tanganku terjatuh lunglai disisi tubuhku, aku masih menatapnya berharap ia mengatakan sesuatu yang lain.

“Nadia,” tegurnya lagi.

“Aku cuma mohon pengertianmu, Azka.” Aku berucap hal lain dengan dada yang menahan sesak akhirnya aku menumpahkan air mata. Aku sangat jengkel dengan keadaan ini, Azka yang diam begitupun dengan Kak Fandi.

“Aku rasa aku sudah sangat pengertian Nadia. Kalau nggak, mana mungkin aku membiarkanmu menemuinya.”

“Aku butuh seseorang yang mendukungku Azka—aku butuh dukunganmu,” ujarku mengalungkan lenganku ke tubuhnya, menyandarkan kepalaku yang terasa pusing ke dadanya.

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang