Bab 1

46K 5K 61
                                    

Dengan membawa nampan aku bergerak kesana-kemari mengantar pesanan. Rutinitas yang melelahkan dan menurutku sangat menjijikkan ketika tangan-tangan setan itu dengan sangaja menyentuh bokongku, dan tak jarang dari mereka yang menawarku.

Beberapa langkah mendekati meja bar langkahku semakin memelan. Pria itu duduk di kursi bar. Wajahnya hanya terlihat dari samping, tetapi herannya aku sudah bisa mengenalinya meski sudah bertahun-tahun lamanya kami tidak pernah bertemu lagi. Azka, wajahnya terlihat jauh lebih dewasa, tatanan rambut yang dipangkas rapi dengan setelan jas yang membalut tubuhnya. A class. Dan... jauh lebih tampan. Sangat berbanding terbalik dengan diriku yang jika tidak didempul dengan make up tebal maka sudah seperti mayat hidup dengan kantung mata tebal.

Dengan kepala yang semakin merunduk sekarang aku bingung harus bersikap bagaimana. Berpura tidak mengenalinya atau –menyapanya? Tidak. Itu tindakan paling mustahil yang tak akan pernah aku lakukan.

Sepersekian detik aku terdiam. Kenapa aku harus merasa cemas tentang reaksinya. Apa yang harus aku lakukan sekarang adalah bekerja. Dia tak ada hubungannya sama sekali denganku, dan jika kami bertemu dengan keadaan seperti ini aku tak perlu memundurkan langkahku. Meski sekarang penampilanku berbeda aku tetaplah Nadia. Nadia yang sudah kehilangan seluruh kharismanya.

Aku menggeram dalam hati, ini bukan saatnya menguak kisah pilu yang ujung-ujungnya membuat darahku mendidih karena tak akan ada orang yang benar-benar mengasihanimu karena mereka hidup hanya ingin mengambil keuntungan dari apa yang kita punya saat ini, dan jika sudah habis tak bersisa semua akan menjauh.

Dengan langkah tegap aku berjalan memutari meja kembali ke kegiatanku. Bodohnya aku memang tak berani menatap matanya, tetapi sepertinya ia tak melirik sedikitpun ke arahku hanya mengarahkan tatapannya ke gelas kecil dihadapannya. Aku memilih berdiri memunggungi sambil membantu Rush mengelap gelas. Sedangkan ia sibuk dengan aksinya sebagai bartender. Aku harus memastikan ini berjalan seperti biasa, tidak ada yang berbeda ada dia atau tanpa dia disini.

"Paman sudah berbicara dengan Ayahmu."

Aku melirik sekilas. Ada seorang pria lain yang baru saja datang dan duduk disampingnya.

"Ayah pasti marah besar."

"Ya. Ayahmu memang orang yang suka meledak-ledak. Tetapi lihat saja sebentar lagi ia pasti mencarimu."

"Aku tidak tahu dimana pikiranku hingga bisa melakukan kesalahan sebodoh ini."

"Itu hal biasa dalam bisnis. Ditipu dan menipu. Kamu hanya perlu untuk terbiasa dan memainkan taktik yang tidak bisa ditembus lawan. Paman tidak punya banyak waktu. Jangan sampai mabuk atau Ayahmu akan semakin marah."

"Hmm. Paman tidak pesan dulu? Ini terlalu cepat kalau mau pergi. Tante Nadine sepertinya sangat mengikatmu."

"Dia memang tipe pemaksa. Tetapi Paman tidak merasa terikat."

"Ya... ya... sepuluh menit lagi. Aku akan membiarkan Paman pergi sepuluh menit lagi. Nona, tolong berikan segelas whiskey!"

Secara tak sadar tubuhku menegang, susah payah aku menelan gumpalan yang menyangkut di tenggorokan.

"Tidak. Air mineral saja." Ucap pria di sebelah Azka tepat saat aku membalik badan.

"Hanya segelas tidak membuatmu mabuk, Paman."

"Tidak Nona. Berikan aku segelas air mineral saja."

Aku tidak menarik senyum, dengan cepat mengambil sebotol air mineral dan menuangnya ke dalam gelas. "Terima kasih." Aku mengangguk lalu kembali membalik badan, aku hanya berharap jika saat ini Madam Maria tidak mengawasiku.

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang