Bab 15

27.2K 3.2K 39
                                    

Cerita ini hanya bisa dibeli di google playbook. Tidak ada dijual ditempat lain. Jika ada artinya itu illegal. Dan bisa dilaporkan.

.
.
Aku mematut tampilanku di cermin. Keinginan untuk tampil lebih cantik selalu timbul di saat-saat akan bertemu Azka. Selepas dari pengungkapan perasaannya, Azka tak lantas merubah sikap, ia masih sama saja. Azka dan segala kesibukannya, meski tiga hari kemarin ia luangkan waktu tiap harinya untuk menemaniku melaksanakan ujian. Saat ini aku hanya mencoba lebih mengerti, setidaknya aku tahu apa isi hatinya dan itu membuatku sedikit tenang.

Aku tengah menyisir rambutku saat keinginan untuk muntah itu timbul lagi, dalam hati kesal setengah mati namun apa daya terpaksa aku berjalan cepat menuju wastafel.

Aku mencuci mulutku yang tak memuntahkan apapun selain cairan, tadi. Keluar dari kamar mandi aku melihat pintu terbuka segera saja aku merapikan rambutku. Azka? Tumben ia pulang lebih awal.

"Udah pulang? kok cepet?" tanyaku saat menghampirinya.

Azka mengecup kilat keningku. "Iya." Ia melewati tubuhku dengan cepat dan langsung memasuki kamar mandi.

Keningku berkerut dalam. Gerakan Azka seperti sangat terburu-buru. Aku duduk termenung di atas sofa sambil menunggu Azka.

Perkiraanku tepat, Azka tidak lama berada di dalam kamar mandi. Ia keluar mengenakan handuk dan langsung menuju walk in closet dan kira-kira tidak sampai lima menit ia kembali keluar tampak segar dengan sweater biru muda dan celana panjangnya yang berwarna cokelat muda.

Aku masih menantinya mengucapkan sesuatu karena tindakannya terbilang tidak biasa.

"Nad."

"Hmm." gumamku.

Ia datang dan mengecup perutku. "Malam ini aku mau kerja di ruang kerja Ayah. Nggak apa ya kalau kamu aku tinggal sendiri?"

Tampangku berubah serius. "Tapikan –"

"Iya. Aku tahu kamu mau protes. Hanya untuk malam ini... aja," pintanya terlihat memelas.

Mertuaku saat ini sedang dalam perjalanan bisnis, begitu yang Ibu Azka bilang semalam, dan mungkin akan pulang esok. Aku sebenarnya jadi tidak enak karena mereka membatasi kegiatannya karena diriku terutama Ibu Azka. Tadi siang entah berapa kali tepatnya ia meneleponku hanya sekedar menanyakan keadaanku, apakah aku sudah menghabiskan makananku atau belum?

"Kalau ada Bunda pasti kamu udah lembur kan?" ujarku sarkastik.

"Bukan gitu Nad. Baru kali ini Ayah mempercayakan aku pakai ruang kerjanya. Lagi pula ada yang harus kami analisis. Aku tidak mau kali ini gagal lagi—"

"Tunggu! Kami? Kami siapa?" tanyaku memotong ucapannya.

"Ya. Um... Lavender."

Tanganku sontak menepis tubuhnya bangkit menjauh.

"Nadia..." Azka mencoba membujukku.

Bibirku tetap terkatup rapat. Apa-apaan dia? Ingin pamer kedekatan secara langsung di depan mataku?

"Nadia, kamu nggak harus membenci Lavender sampai segitunya kan? Lagi pula bukankah lebih baik aku bekerja di rumah, selain aku juga bisa menjagamu."

"Benci? Aku bukan benci, aku hanya nggak suka."

"Terus apa bedanya?"

"Beda. Seandainya itu bukan Lavender pun pasti aku tidak suka. Permasalahannya adalah kenapa harus wanita? Kenapa kamu nggak memilih seorang pria untuk dijadikan asisten."

"Itu karena kamu nggak mengenal Lavender. Dia sudah seperti Adik aku Nadia..."

Aku yakin diriku tidak kekanakan. Azka yang tidak mengerti kalau perasaan wanita dan pria itu berbeda. Karena wanita mudah lemah perasaannya dibandingkan dengan pria. Apalagi dengan sikap Azka yang cenderung sangat bersahabat. Dihadapkan dengan situasi yang selalu bersamaan aku hanya takut jika akhirnya...

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang