Bab 6

30.7K 3.6K 71
                                    

Aku mengambil handuk kecil dan membasahinya dengan air hangat lalu menyapukannya ke bekas luka di bibir hidung dan pelipisku. Kali ini dia datang dan menghajarku jauh lebih keras dari sebelum-sebelumnya. Seluruh persendianku terasa sakit, jika saja tidak ada suami dari Ibu Kos yang melerai mungkin saat ini aku sudah menjadi mayat.

Dia marah begitu tahu aku keluar dari klub malam itu. Dia terus bertanya siapa yang membebaskanku dari sana. Aku seakan mengunci mulutku, aku tidak akan membocorkan sedikitpun fakta tentang apa yang terjadi sebenarnya pada Fandi. Dalam kondisinya yang mabuk ia memukuliku secara membabi buta. Membuat para tetangga yang terlelap menjadi terusik dan berkerumun di depan kamar kosku penuh minat. Mencari tahu siapa kira-kira yang membuat keributan di pagi-pagi buta.

Fandi menghentikan aksinya setelah melihat semakin ramai orang dan pergi. Sedangkan aku hanya bisa merunduk di sudut ruangan. Bahkan Ibu kos yang terus menanyaiku apa yang terjadi menyerah dan memilih meninggalkanku.

"Apa sekarang kamu lebih memilih berakhir selamanya di klub malam itu?! Hidup hanya untuk terus dipukuli kakakmu?!"

Perkataan Azka terus bergulir bagai kaset rusak di otakku. Luka ternyata tak hanya ada disekujur tubuhku tetapi jauh menembus relung hatiku. Rasa kecewaku teramat dalam. Semestinya sejak awal aku sudah menduga itu. Semestinya aku sudah menyadari bahwa tak ada orang yang dengan niat tulus ingin membantu.

Untuk pertama kalinya aku mengulum senyum saat berpikir akan menerima lamaran Azka. Aku berpikir mungkin itu memang jalan yang benar-benar dikirim Tuhan untukku. Aku mulai membangun lagi harapan yang sudah ku kubur sejak lama. Aku mulai berpikir lagi mungkin aku bisa memperbaiki diri dan membuat Azka tidak salah karena memilihku. Tetapi sekali lagi, ternyata harapan itu hanya ilusi.

Aku mengetuk pintu beberapa kali. "Paman," panggilku lagi. Aku mengambil kesempatan ketika Kak Fandi sedang terlelap. Dengan tas di punggungku kuberanikan untuk pulang sendirian ke rumah lamaku. Sejak pertama kali Kak Fandi mengajakku tinggal di Ibukota tak seharipun kuhabiskan tanpa menangis. Kakakku bukan lagi orang yang sama. Ia sering marah ketika pulang, tepatnya ketika ia kalah judi. Dan semalam ketika ia pulang ia berkata aku tidak bisa melanjut sekolah lagi. Ia tidak punya uang untuk membiayaiku dan jika aku ingin sekolah maka aku harus bekerja. Jika sekadar jadi pramusaji di restoran mungkin aku terima tetapi ini di klub malam. Aku langsung menangis seketika, aku sangat takut kalau kali ini Kak Fandi berniat menjualku.

"Paman ini aku, Nadia." tetap tak ada sambutan apapun. Paman Dani adalah adik Mama, dan selama ini dia juga yang membantu Mama mengurus kebun. Lama aku berdiri di beranda rumahnya akhirnya pintu itu terbuka.

Paman Dani menyelipkan uang seratus ribu ke tanganku. "Paman tidak bisa menampungmu disini. Isteri Paman tidak mengijinkannya. Maaf. Pulanglah ke Kakakmu."

Hatiku hancur tetapi aku menolak untuk menangis di hadapannya. Aku membalik badanku dan menuju rumah yang lain. Paman Ganda. Adik bungsu Mama. Sampai disana aku hanya berjumpa dengan Tante Rani isterinya. Aku menceritakan kisah yang sama, alih-alih memberiku simpati dia malah mengungkit Mamaku yang katanya mempunyai hutang. Aku langsung undur diri, dari sekian keputusasaanku aku teringat akan satu hal.

Aku segera menuju ke rumah Tata. Ayah Tata bekerja di bengkel Ayah Azka. Aku sadar Azka memang tidak membalas suratku. Tetapi setidaknya jika aku meminta alamatnya dari Tata mungkin aku bisa menemuinya. Dengan hati yang kembali membuncah aku berlari agar cepat sampai ke tempat yang ku tuju.

Dan bersyukur saat aku menemukan Tata yang saat itu baru pulang sekolah. "Nadia?" sebutnya dengan nada heran ke arahku. "Ngapain kamu disini?"

"Tata. Aku bisa minta alamatnya Azka?" tanyaku langsung.

"Azka? Buat apa?"

"Aku ingin menemuinya."

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang