Bab 7

30.8K 3.8K 76
                                    

Airmataku meleleh. Begitupun dengan Tante Shena yang sekarang mungkin sudah resmi kupanggil dengan sebutan Bunda, sama seperti yang selalu disebut Azka. Aku bersedih karena tak tahu perasaan apa yang menyelinap di hatiku. Rasa bahagia sebagai seorang pengantin mungkin terlalu berlebihan karena yang kurasa sepi lantaran tidak ada satupun sosok yang mendampingiku. Seharusnya Ayah disini atau... Kakak yang menjadi waliku.

Azka menyeka airmataku sebelum memakaikan cincin ke jari manisku. Sebelumnya Azka telah menyiapkan sebuah cincin, namun aku menolak. Aku ingin memakai cincin peninggalan Mama untuk cincin pernikahanku.

Sapuan hangat bibir Azka mendarat di keningku dan akupun mengambil tangannya untuk ku cium punggungnya, sebagai rasa hormat terhadap orang yang sudah sah menjadi suamiku. Aku dan Azka beranjak ke sisi lainnya untuk menyalim tangan kedua orang tuanya. Gemuruh di dadaku bertambah pilu saat memeluk Ibu Azka. "Anggap Bunda sebagai Mamamu," ucapnya seperti lantunan merdu ditelingaku. Semakin aku tidak bisa membendung isakanku. Terlebih memang tidak ada lagi figur Mama yang menemaniku. Hidupku juga tidak akan sesulit ini jika Mama masih ada disampingku.

Setelah prosesi yang mengharukan itu. Kami berkumpul di halaman yang telah di hias dengan aksesoris serba putih. Tidak ada matahari yang menyinari, karena acara diadakan malam hari, tepat pukul tujuh tadi. Aku sempat mati kutu di kamar hotel dan mengira yang tidak-tidak kala Azka tidak juga datang menjemput. Hanya beberapa pelayannya yang datang untuk mengurusi ini dan itu.

Mungkin aku salah menduga. Acara ternyata digelar sangat sederhana, tak heran Azka bisa mempersiapkannya kilat. Tak banyak tamu yang diundang oleh keluarganya. Aku bahkan tidak mengenal mereka yang hadir, hanya Lavender yang memang pernah dikenalkan Ibu Azka dan pria yang sedang memangku anak kecil yang pernah kulihat saat ia menemani Azka minum tempo hari, itupun aku tidak tahu namanya.

"Nadia ini Paman Zack, dan si kecil Steven."

Aku segera mengulurkan tanganku pada Paman Zack, "Nadia." Dan tangan bocah yang kira-kira berumur enam tahunan itu tampak ragu-ragu ingin meraih tanganku.

"Salam, Steven," peringatan datang dari Ayahnya dan segera itu juga Steven memajukan tangan kanannya. Aku pun tersenyum manis seraya membungkuk menjajarkan tinggi badan kami.

"Ini Opa Luis. Beliau adalah Ayah dari Paman Zack, sahabat Ayah." Aku menyambut uluran tangan lelaki paruh baya yang rambutnya sudah terlihat memutih itu.

"Nadia, Opa." Sahutku.

"Ternyata pilihan Azka cantik ya," ucapnya memujiku yang kubalas dengan senyum ramah. "Opa juga dulu kerja disini. Tapi sekarang udah pensiun dan milih jagain cucu."

Opa Luis melirik ke arah bocah kecil yang sedari tadi tak lepas dari tangan sang Ayah. Ah... Aku mengerti urutannya sekarang.

"Dan ini Tante Nadine."

"Hallo," sahutnya dengan wajah sumringah saat menyalamiku. "Nadia, Tante." Dan ini adalah isteri Paman Zack, sahutku membatin berhubung wanita ini juga tak lepas dari sisi suaminya.

"Ayah dan Ibumu tidak hadir?" bukan pertanyaan itu bukan keluar dari mulut Tante Nadine, melainkan Ibu Azka. Aku meliriknya saat ia mendekati Lavender dan... Um. Mungkin yang disebelahnya adalah Neneknya.

"Hmm... Shena sepertinya sedang cari masalah ia tidak melihat mata suaminya yang sedari tadi mengekorinya," posisi Tante Nadine kebetulan dekat denganku, mau tak mau aku mendengar gumamannya. Keningku sedikit berkerut karena tak mengerti maksud dari ucapannya.

Azka menarik tanganku dan mengajakku berkenalan dengan keluarga Lavender. Benar saja ia datang dengan Neneknya. Nenek Maryam.

Menurut pengakuan Azka tidak ada hubungan darah diantara mereka yang hadir, semua adalah kerabat dekat yang dekatnya melebihi ikatan saudara.

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang